Rabu, 07 Agustus 2013

Lebaran tanpamu (lagi), ayah...

Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar, laaillaaha illallah huwallahu akbar Allahu akbar walillaa ilham... Begitu suara takbir sayup-sayup terdengar, ada getaran yang begitu hebat dari relung hati terdalam. Ada ketakutan luar biasa jika malam takbir yang begitu indah ini menjadi pertemuan terakhir di Ramadhan mendatang, ada kekhawatiran yang tak tentu akankah dipertemukan kembali di Ramadhan berikutnya dengan suasana keluarga yang sama. Meski ku tau rencana Tuhan itu yang terindah dari segala yang indah, namun kehilangan sosok figur seorang ayah menjadi ketraumaan yang masih melekat dan menjadi bayang-bayang yang begitu mencekam. Dimana detik, menit dan jam itu menyadarkanku bahwa aliran darah yang mengalir harus terhenti dan menjadi hembusan terakhir yang kusaksikan dihadapan ayah. Ini entah lebaran yang kesekian tanpamu (lagi) ayah, dadaku terasa sesak ketika percikan air mata itu harus tertahan ditenggorokan.
Aku begitu paham rasa rindu ibu yang tertumpahkan untuk ayah, ingin memeluk namun hanya bingkai foto yang terpampang jelas dibilik ruang tamu. Ingin bercerita segala hal namun hanya bersama air mata semua seakan tumpah ruah, ingin sekali untuk berjumpa namun hanya kepada sebuah mimpi media satu-satunya yang bisa melihat wajah itu. Lalu aku bisa apa? Jika saja jarak ini bisa ku tebas, pasti sudah ke tebas dan ku lawan meski nyawa sebagai taruhan.
Malam ini menjadi malam yang mengharukan, suara takbir terdengar dari segala penjuru dan tak dapat ku tepis bahwa malam ini juga menjadi malam yang membuat rinduku semakin menumpuk dan seakan ingin meledak. Hentakan kaki dari arah dapur mulai mendekati, dan dengan wajah tersenyum ibu berbicara “ayahmu akan pulang malam ini, ayo segera buatkan kopi dan makanan kesukaannya”. Dengan wajah datar dan mulut membisu, ku simak dengan seksama kata perkata yang terlontar dari mulut ibu. Hatiku terenyuh, hancur tak berkeping, percikan air mata semakin mengalir deras bak air terjun. Bagaimana bisa ku mengetahui ayah pulang? Jika sosoknya saja tak dapat ku sentuh, jika jemarinya saja tak dapat ku genggam, jika peluknya saja tak dapat ku rasakan. Aku ini seperti orang bodoh yang terus menunggu kenyataan yang jelas-jelas ku tau itu mustahil, sungguh ini diluar akal sehatku.
Nyatanya keikhlasan itu begitu sulit ketika sebuah kenyataan getir terjadi sebagai pelajaran hidup, meski ikhlas telah tertanam namun hati masih seakan hancur ketika kenangan masih terekam jelas dan takkan pernah pudar. Jika memang benar malam ini ayah pulang, duduk disampingku yah. Dengarkan celotehku ini, peluk aku sebentar saja. Tenangkan aku dan kuatkan aku untuk mampu bertahan, berdiri meski badai terus menghantam. Ku tau yah, hidup tidak selamanya berjalan mulus. Masa dimana aku harus belajar mengikhlaskanmu, masa dimana aku harus belajar bangkit sendiri dalam keterpurukanku, ku telan semua pahit dan getir itu. Jika memang kamu benar ada disini yah, tetaplah disini meski ragamu tak lagi dapat ku gapai, meski tawa hangatmu tak dapat lagi ku nikmati seperti dulu. Ku terus berjuang untukmu yah, jatuh bangun terpuruk bangkit itu hal yang mudah jika segala restumu kau percayakan padaku. Tak akan ku biarkan aku kehilangan dengan sia-sia (lagi) yah, aku akan jaga hingga waktu tidak mengizinkan lagi. Tetap tersenyum dialam kekal sana yah.

Kebersamaan akan dirindukan ketika kebersamaan itu sendiri telah direnggut maut, dan penyesalan seumur hidup pun takkan mampu membawanya kembali. ~~