Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar, laaillaaha illallah huwallahu akbar
Allahu akbar walillaa ilham... Begitu suara takbir sayup-sayup terdengar, ada
getaran yang begitu hebat dari relung hati terdalam. Ada ketakutan luar biasa
jika malam takbir yang begitu indah ini menjadi pertemuan terakhir di Ramadhan
mendatang, ada kekhawatiran yang tak tentu akankah dipertemukan kembali di
Ramadhan berikutnya dengan suasana keluarga yang sama. Meski ku tau rencana
Tuhan itu yang terindah dari segala yang indah, namun kehilangan sosok figur
seorang ayah menjadi ketraumaan yang masih melekat dan menjadi bayang-bayang
yang begitu mencekam. Dimana detik, menit dan jam itu menyadarkanku bahwa
aliran darah yang mengalir harus terhenti dan menjadi hembusan terakhir yang
kusaksikan dihadapan ayah. Ini entah
lebaran yang kesekian tanpamu (lagi) ayah, dadaku terasa sesak ketika
percikan air mata itu harus tertahan ditenggorokan.
Aku begitu paham rasa rindu ibu yang tertumpahkan untuk ayah, ingin memeluk
namun hanya bingkai foto yang terpampang jelas dibilik ruang tamu. Ingin bercerita
segala hal namun hanya bersama air mata semua seakan tumpah ruah, ingin sekali
untuk berjumpa namun hanya kepada sebuah mimpi media satu-satunya yang bisa
melihat wajah itu. Lalu aku bisa apa? Jika saja jarak ini bisa ku tebas, pasti
sudah ke tebas dan ku lawan meski nyawa sebagai taruhan.
Malam ini menjadi malam yang mengharukan, suara takbir terdengar dari segala
penjuru dan tak dapat ku tepis bahwa malam ini juga menjadi malam yang membuat
rinduku semakin menumpuk dan seakan ingin meledak. Hentakan kaki dari arah
dapur mulai mendekati, dan dengan wajah tersenyum ibu berbicara “ayahmu akan pulang malam ini, ayo segera
buatkan kopi dan makanan kesukaannya”. Dengan wajah datar dan mulut
membisu, ku simak dengan seksama kata perkata yang terlontar dari mulut ibu. Hatiku
terenyuh, hancur tak berkeping, percikan air mata semakin mengalir deras bak
air terjun. Bagaimana bisa ku mengetahui
ayah pulang? Jika sosoknya saja tak dapat ku sentuh, jika jemarinya saja tak
dapat ku genggam, jika peluknya saja tak dapat ku rasakan. Aku ini seperti
orang bodoh yang terus menunggu kenyataan yang jelas-jelas ku tau itu mustahil,
sungguh ini diluar akal sehatku.
Nyatanya keikhlasan itu begitu sulit ketika sebuah kenyataan getir terjadi
sebagai pelajaran hidup, meski ikhlas telah tertanam namun hati masih seakan
hancur ketika kenangan masih terekam jelas dan takkan pernah pudar. Jika memang
benar malam ini ayah pulang, duduk
disampingku yah. Dengarkan celotehku ini, peluk aku sebentar saja. Tenangkan aku
dan kuatkan aku untuk mampu bertahan, berdiri meski badai terus menghantam. Ku tau
yah, hidup tidak selamanya berjalan mulus. Masa dimana aku harus belajar
mengikhlaskanmu, masa dimana aku harus belajar bangkit sendiri dalam
keterpurukanku, ku telan semua pahit dan getir itu. Jika memang kamu benar ada
disini yah, tetaplah disini meski ragamu tak lagi dapat ku gapai, meski tawa
hangatmu tak dapat lagi ku nikmati seperti dulu. Ku terus berjuang untukmu yah,
jatuh bangun terpuruk bangkit itu hal yang mudah jika segala restumu kau
percayakan padaku. Tak akan ku biarkan aku kehilangan dengan sia-sia (lagi)
yah, aku akan jaga hingga waktu tidak mengizinkan lagi. Tetap tersenyum dialam
kekal sana yah.
Kebersamaan akan dirindukan ketika kebersamaan itu sendiri telah direnggut
maut, dan penyesalan seumur hidup pun takkan mampu membawanya kembali. ~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar