Kalimat
yang ku awali diatas paragraf ini memang agak berkonotasi negatif. Ini bukan
tentang ketidakpercayaanku terhadap ketulusanmu ataupun perasaan yang kamu
ungkapkan berkali-kali. Ini hanya sebatas perasaan hati yang begitu
bertentangan dengan ucapanmu. Malam itu kita saling bertukar pendapat, dan
lagi-lagi selalu membahas soal pertemuan. Entahlah, harus berapa kali lagi kita
membahas persoalan yang tidak akan menemui titik ujungnya.
Aku
tidak pernah percaya dengan kalimat, “kebosanan dalam suatu hubungan itu datang
ketika dua orang kekasih selalu bertemu.” Tidak tidak, sungguh aku tidak pernah
percaya akan hal itu. Logikanya begini, semua persoalan selalu ada jalan
keluarnya. Sama halnya seperti kita sekolah dulu, setiap pelajaran yang
terbilang susah meskipun kita sudah mati-matian memecahkan soalnya namun selalu
ada kunci jawabannya; selalu ada jalan untuk menyelesaikan pelajarannya. Jika setiap
persoalan saja selalu mempunyai jalan keluar, kenapa tidak dengan bosan?
Segala
hal yang terjadi bukankah kembali ke dalam diri masing-masing? Bagaimana cara
kita menyikapinya, bagaimana cara kita menghadapinya, bagaimana cara kita
membangunnya, bagaimana cara kita menepisnya, bagaimana cara kita
mengembangkannya. Jadi menurutku, ketika seseorang meninggalkan kekasihnya
hanya karena bosan berarti perasaannya yang mesti dipertanyakan lagi. Bosan itu
rasa manusiawi, sebagaimana halnya dengan rasa marah. Itu sangat manusiawi.
Jadi,
aku tidak pernah setuju ketika selalu ada yang berkata bahwa seringnya waktu
bertemu dapat menimbulkan kebosanan. Pertemuan bisa dilakukan dengan berbagai
macam hiburan. Entah itu camping, berlibur, kuliner ataupun hal yang lain yang
lebih seru. Tak ada alasan apapun yang dapat mewakili seseorang untuk tidak
menemui kekasihnya kecuali karena ada kesibukan lain. Hanya itu.
Jangan
lagi membahas soal pertemuan jika ujung-ujungnya selalu berkata “takut bosan
karena seringnya bertemu”. Karena sesering apapun kamu berkata seperti itu,
sesering itu juga aku tidak percaya akan hal semacam itu.