Selasa, 29 November 2016

Ketidakpercayaanku

Kalimat yang ku awali diatas paragraf ini memang agak berkonotasi negatif. Ini bukan tentang ketidakpercayaanku terhadap ketulusanmu ataupun perasaan yang kamu ungkapkan berkali-kali. Ini hanya sebatas perasaan hati yang begitu bertentangan dengan ucapanmu. Malam itu kita saling bertukar pendapat, dan lagi-lagi selalu membahas soal pertemuan. Entahlah, harus berapa kali lagi kita membahas persoalan yang tidak akan menemui titik ujungnya.

Aku tidak pernah percaya dengan kalimat, “kebosanan dalam suatu hubungan itu datang ketika dua orang kekasih selalu bertemu.” Tidak tidak, sungguh aku tidak pernah percaya akan hal itu. Logikanya begini, semua persoalan selalu ada jalan keluarnya. Sama halnya seperti kita sekolah dulu, setiap pelajaran yang terbilang susah meskipun kita sudah mati-matian memecahkan soalnya namun selalu ada kunci jawabannya; selalu ada jalan untuk menyelesaikan pelajarannya. Jika setiap persoalan saja selalu mempunyai jalan keluar, kenapa tidak dengan bosan?

Segala hal yang terjadi bukankah kembali ke dalam diri masing-masing? Bagaimana cara kita menyikapinya, bagaimana cara kita menghadapinya, bagaimana cara kita membangunnya, bagaimana cara kita menepisnya, bagaimana cara kita mengembangkannya. Jadi menurutku, ketika seseorang meninggalkan kekasihnya hanya karena bosan berarti perasaannya yang mesti dipertanyakan lagi. Bosan itu rasa manusiawi, sebagaimana halnya dengan rasa marah. Itu sangat manusiawi.

Jadi, aku tidak pernah setuju ketika selalu ada yang berkata bahwa seringnya waktu bertemu dapat menimbulkan kebosanan. Pertemuan bisa dilakukan dengan berbagai macam hiburan. Entah itu camping, berlibur, kuliner ataupun hal yang lain yang lebih seru. Tak ada alasan apapun yang dapat mewakili seseorang untuk tidak menemui kekasihnya kecuali karena ada kesibukan lain. Hanya itu.


Jangan lagi membahas soal pertemuan jika ujung-ujungnya selalu berkata “takut bosan karena seringnya bertemu”. Karena sesering apapun kamu berkata seperti itu, sesering itu juga aku tidak percaya akan hal semacam itu.

Rabu, 21 September 2016

Graduation...

Hampir empat tahun aku mengemban ilmu di salah satu universitas kawasan tangerang selatan. Dengan penuh perjuangan, kemalasan, kegembiraan, kepusingan hingga sampai pada titik keharuan yang tidak dapat dijelaskan oleh kata-kata. Resolusiku tercapai; jelas karena dukungan mereka yang terus setia mendampingi, salah satu impianku terwujud berkat cemoohan para pembenci yang terus memotivasi untuk menjadi lebih baik.

Ibu, bapak. Kelulusan ini aku dedikasikan untuk kalian berdua. Kalian satu-satunya motivasi yang votingnya paling terbanyak dari yang lainnya. Terutama untuk cinta pertamaku; laki-laki satu satunya yang amat ku cintai. Meski sebenarnya hati ingin sekali beliau berada disini, tapi aku cepat-cepat menyadari bahwa itu sebuah kemungkinan yang sangat mustahil. Ketika memasuki ruang auditorium acarapun rasanya airmata sudah ingin tumpah jika membayangkan akan betapa bahagianya beliau apabila berada disini juga. Menyaksikan putri nakalnya memakai baju kebanggaan, pakaian yang dinanti-nanti banyak orang setelah melalui perjuangan yang tidak mudah. Jika tidak banyak orang, mungkin saja aku sudah menangis sesegukan karena terharu yang bercampur rindu.

For dearest father… semoga ini bisa jadi hadiah terindah ditahun ini untukmu. Ingatkah? Dulu kau pernah bilang bahwa aku cukup melanjutkan pendidikan ku saja. Sebelum tahun kepergianmu pun kamu pernah menanyakan akan bagaimana perayaan ulangtahunku yang ketujuhbelas nanti. Tapi semua terasa semu. Kamu pergi sebelum semuanya nyata dan terwujud. Impianku semakin tinggi ketika kepergianmu semakin nyata, cita-citaku semakin menggebu ketika kepergianmu perlahan sudah bisa ku ikhlaskan. Aku melanjutkan ke perguruan tinggi bukan semata-mata karena ingin seperti orang-orang banyak yang merasakan bangku kuliah. Aku melanjutkan ke perguruan tinggi semata-mata hanya untukmu dan untuk ibu. Ketika kepergianmu, banyak ungkapan-ungkapan kata yang seharusnya tidak ku dengar. Keinginanku semakin kuat untuk mewujudkan impianmu, ingin sekali rasanya aku membuktikan kepada mereka bahwa semua hal yang mereka katakan itu adalah hal yang sama sekali tidak benar adanya. Aku geram dibuatnya, aku marah mendengarnya. Namun apa daya? Melawannya dengan tenaga bukanlah solusi yang terbaik, hanya akan menghabisi waktuku saja. Jadi ku putuskan untuk tetap fokus dengan semua cita-cita.

Terimakasih pak, terimakasih sudah menjadi motivasi yang terus menyemangati ketika aku mulai merasa lelah di penghujung jalan. Walaupun ragamu tidak terlihat, tapi aura semangatmu terus membara di jiwaku.

Kelulusan ini untukmu, dan semoga aka nada kelulusan-kelulusan lainnya yang akan terus membuatmu bangga mempunyai putri sepertiku. Tetaplah bahagia bersama-Nya pak, dan biarkan aku membahagiakanmu juga disini meski aku tidak melihat senyummu. Ragamu yang telah pergi tidak memutuskan semangatku untuk terus membahagiakanmu pak.


Salam rindu,
Dari aku;
Putri yang akan dan selalu membuatmu bangga…

Jumat, 19 Agustus 2016

Ketika kau tidak ada...

Sebelum kamu memutuskan untuk tidak ada, aku sedang merindukanmu. Sebelum kamu memutuskan untuk melepaskan ikatan ini, aku sudah merindukanmu lebih dulu. Dan sekarang ketika kamu tidak ada, aku merindukanmu. Aku rindu kehadiranmu, tawa kita, pembicaraan ngelantur kita, tingkah konyol kita bahkan keseriusan kita merancang yang indah-indah. Pertanyaan yang selalu mengejarku dalam beberapa jam terakhir ini, apakah kamu juga sama sepertiku? ataukah hanya aku yang lancang sudah berani merindukanmu dan menuliskan ini untukmu?

Kita memang selalu terhalang jarak, sekarang pun sepertinya jarak itu semakin panjang dan membuat kita semakin jauh. Keberadaanmu tidak lagi ku ketahui, aktivitasmu tidak lagi muncul dalam notifikasi ponselku, suaramu tidak lagi hinggap diujung telepon kita. Kita mematung, kita memilih diam dan aku disini belum tau harus melakukan apa. Aku masih belum paham, apakah kalimat yang tempo hari kamu nyatakan itu benar adanya atau hanya sebagai guyonan. Ketidakpahamanku ini jelas membuat langkahku semakin tertahan, antara mengikhlaskan atau tidak. Yang pasti aku tau bahwa kita sudah berdiam selama berpuluh-puluh jam, tak ada kabar ataupun sapa basa-basi. 

Bagaimana? Bagaimana kabarmu di tigapuluhempatjam ini? Apakah hatimu sudah berubah? Apakah kamu sudah mulai tertarik dengan orang baru? Ataukah kamu masih merindukanku? Ah... pertanyaan macam ini. Jangan gubris pertanyaan terakhirku, karena jelas kamu takkan merindukanku bukan? Mungkin sekarang ini kamu masih tersulut emosi dan bahkan sedang berusaha melupakanku. Apakah benar? Apakah benar kamu sedang mencoba untuk melupakanku? Membuang kenangan kita selama hampir enam tahun ini? Jangan jawab apapun, aku tidak ingin mendengarnya. 

Sebenarnya ada hal yang ingin ku ceritakan padamu, mungkin ini akan menjadi hal yang bisa membuatmu tersenyum. Apakah kamu bisa tebak? Yap benar, ponsel yang ku pesan dua hari yang lalu sudah datang hari ini. Dan kamu tau? Ponselku ini difasilitasi dengan kamera yang bagus, yang artinya kita bisa video call-an bersama. Walau sebenarnya aku ini telat, buat apa kamera bagus karena mungkin sekarang kamu sudah tidak mau lagi mendengar suaraku bahkan melihat wajahku. 

Aku berhak berterimakasih dengan kesibukanku, karena berkat aktivitasku yang menggunung membuatku lepas dari angan tentangmu. Dan akupun selalu mengingatmu lagi ketika langit sudah mulai gelap. Aku kira dengan menonton film yang seru dan lucu bisa membuatku melupakanku, ternyata aku salah. Semakin aku mencoba melupakanmu, semakin bayang-bayangmu pekat dalam fikiranku.

Aku memang merindukanmu.
Masih merindukanmu.
Dan (mungkin) akan selalu merindukanmu.

Kamis, 21 Juli 2016

Selamat tinggal, kegelisahan…


Aku pernah tergesa-gesa dari sebuah kekhawatiran. Aku sempat terburu-buru dalam sebuah ketakutan. Aku pernah meragukan diriku sendiri, pernah merasa ingin menyerah saja. Semua kekhawatiran sempat jelas terpampang diraut wajahku sebelum aku mengenal nikmatnya sebuah kesabaran. Sebelum ini, aku sempat menangis dihadapan halayak banyak. Mencari perhatian agar mereka mengerti posisiku, terseguk sedih seperti hanya masalahku saja yang paling besar diantara mereka. 
 
Dikemudian hari, aku merasa lelah dengan segala hal tentang kekhawatiran dan ketakutan. Mulai saat itu aku bertekad untuk tidak mudah menangis lagi, peraduan airmataku hanya ku tumpahkan dalam sujud panjangku. Mulai saat itu tak ada lagi bantal yang basah akibat derasnya air mataku yang menetes, kini tempatku mengaduh rindu hanyalah sajadah yang terbentang. Aku berusaha mengubah nasib tanpa merubah takdir. 
 
Dulu aku mengharapkan apa yang ku lakukan akan kembali padaku. Lalu aku tersadar bahwa keikhlasan bukan begitu, itu hanya sebuah kepamrihan yang tidak disadari. Dulu, aku sempat khawatir apakah pasanganku juga akan melakukan hal yang sama ketika aku setia? Apakah pasanganku disana akan melakukan tindakan yang jujur dikala aku berlaku baik untuk menjaga hatinya disini? Beberapa kali aku merasa khawatir akan hal itu. Hari-hariku gelisah karena ketakutan itu. Aku hampir lupa bahwa ada Tuhan yang mampu mengatur segalanya. 
 
Diakhir kelelahan  atas kekhawatiranku sendiri, akhirnya aku menyerah. Aku menyerah dari segala takut, aku menyerah dari rasa gelisah dan mulai menyerahkan segala keadaan kepada Tuhan. Tuhan tidak akan pernah menghukumku, kalaupun aku merasakan hal  yang pahit; mungkin saja aku pernah melakukan hal itu kepada orang lain tempo hari. Ya… Karma akan tetap menjadi karma. Karma akan melakukan tugasnya jika alam semesta mengizinkan. Yang aku yakini saat ini adalah segala sesuatu yang kita tanam, maka itu yang akan kita tuai dikemudian hari. 
 
Begitupun dengan kejujuran seseorang yang jauh disana. Saat ini aku tidak mengkhawatirkan lagi kamu sedang apa, dimana, bersama siapa dan sedang melakukan apa. Aku hanya cukup menjaga hati dan sikapku sebaik mungkin disini. Perkara kamu menjaga atau tidak, cukup itu urusanmu dengan Tuhanmu saja. Aku percaya Tuhan akan selalu memberitahu segala hal yang memang seharusnya aku ketahui. Aku yakin Tuhan akan selalu memberi jawaban dari sebuah pertanyaan atas kamu. 
 
Kini dan nanti. Takkan pernah kamu temui lagi seorang perempuan yang terburu-buru dalam bertanya dengan rasa penasaran, takkan pernah lagi kamu dapati seorang perempuan yang didalam raut wajahnya terdapat kegelisahan dan sebuah ketakutan. Kamu akan menemui perempuan yang lebih tenang, lebih santai dan terkesan tidak peduli dengan hal yang menurutnya sepele. Bukan karena perempuan ini belajar untuk acuh, tidak sama sekali. Perempuan ini hanya sedang belajar bagaimana menjadi perempuan yang lebih damai secara lahir dan batin. 
 
Yang baru ku sadari saat ini adalah ternyata aku juga berhak bahagia. Bahagia tanpa ada rasa takut, khawatir dan gelisah. Dan yang selalu aku yakini bahwa Tuhan takkan pernah membiarkanku bersedih, kecuali jika diriku sendiri yang mengizinkan. 
 

Jumat, 18 Maret 2016

Sejujurnya…



Sejujurnya, aku benci dengan tipe wanita macam itu. Segampang itukah ingin merebut hati laki-laki yang jelas jelas sudah mempunyai kekasih? Apakah semurah itu derajat seorang wanita dengan mengejar-ngejar cinta seorang kaum adam dengan sebegitunya? Apakah sebuah keharusan atau sebuah kebanggaan jika berhasil merampas sesuatu yang jelas-jelas bukan miliknya? Aku wanita dan dirinya pun wanita, harusnya wanita itu paham bagaimana perasaan seorang wanita jika laki-lakinya terus digoda oleh wanita lain. Harusnya wanita itu mengerti bagaimana harus bersikap, bagaimana harus saling menjaga hati sesama perempuan. Sejujurnya aku ingin marah, namun apa hakku? Kembali lagi, aku harus menyadarkan diri bahwa melarang seseorang jatuh cinta itu bukanlah tugasku. Cinta itu anugerah dan bukan semata-mata kemauannya. Memang, memang semua itu benar adanya. Cinta itu rasa alami yang tumbuh dari relung hati, tetapi yang ku pertanyakan adalah; apakah sikap yang tetap ingin merebut hak orang lain juga sebagian dari takdir yang disebut anugerah juga? kurasa tidak, sama sekali tidak.

Itu hanya sebuah hawa nafsu, yang pada hakikatnya cinta itu bukan suatu paksaan. Dia datang dan mengalir begitu saja, semakin tenang jika dijaga dan akan semakin berontak ketika tidak diperlakukan dengan semestinya. Aku tidak bisa memaksakan segala kehendakku agar kamu selalu bersamaku, yang aku tau jika kamu sungguh-sungguh maka seribu wanita yang datangpun bukan suatu halangan bagimu untuk segera menghalalkanku. Aku hanya menganggap ini sebagai ujian diseperempat tahun kelima kita. Kekhawatiran itu masih ada, tapi aku lebih memilih untuk menyerahkannya kepada Tuhan saja. Penentangan dalam hati pasti ada, tapi aku masih percaya dengan kebaikan Tuhan yang takkan pernah mengecewakanku. Jadi, aku lebih memilih untuk tetap melangkah menatap masa depan dengan mata terbuka. Aku berhenti berkhayal dan lebih memilih menatap realita. Hidup semakin memberikan aku kesadaran bahwa cerita yang sedang ku perankan ini bukanlah cerita di negeri dongeng yang bisa kapan saja dapat diubah sesuai dengan kemauanku.

Terlebih soal kamu. Aku memelukmu setiap hari melalui do’a do’a yang selalu ku semogakan diakhir kalimatnya. Mungkin saja akan ada hal yang lebih menyebalkan dari sesuatu yang kamu ceritakan semalam, mungkin saja akan ada hal yang lebih menyakitkan nanti. Aku menerima semua kebarangkalian, dan aku selalu belajar untuk menyimpan rapat-rapat rasa khawatir dari kata “kebarangkalian” itu dengan fikiran yang baik-baik saja. 

Aku percaya bahwa kamu takkan pernah menghancurkan kepercayaan yang sudah kita bangun lebih dari 1800 hari ini, kalaupun harapanku ini sia-sia aku masih berhak bersyukur karena Tuhan telah memberitahu siapa dirimu dan seberapa besar cintamu…

Senin, 18 Januari 2016

Kekasihku sahabatku sendiri

Aku mengenal laki-laki ini semasa duduk di bangku sekolah menengah kejuruan. Putih abu-abu menjadi saksi bagaimana rasa itu mulai ada dan berkembang menjadi besar. Berawal dari tatap muka, mengenal nama hingga masuk jauh ke dalam kehidupan asing yang antah berantah. Mengenal sebuah kehidupan seorang laki-laki yang tak pernah aku impikan sebelumnya, tak pernah tergambar dalam imajinasiku. Mengenal orang-orang disekitarnya yang begitu bersahabat, yang membuatku penasaran untuk mengenal lebih dalam lagi tentang mereka. Ya, sejak beberapa tahun silam laki-laki ini berhasil membuat ku mampu berdogeng setiap harinya. Laki-laki yang membuatku tau bahwa jatuh cinta pada orang yang sama tidak selalu terlihat buruk, membuatku mengerti bahwa hidup ini tidak serumit seperti yang pernah ku bayangkan sebelumnya.
 
Bagi anak seusia 17 tahun, memikirkan masa depan bersama laki-laki yang baru beberapa tahun dikenal memang belum pantas. Makanya dulu aku tidak pernah membayangkan terlalu jauh akan seperti apa nantinya hubungan ini, akan seindah apa cerita ini. Wajahnya begitu asing untuk ku lihat, tak ada ketertarikan sama sekali ketika mata memandang jauh ke arah depan kelas sambil menyimak awal perkenalan identitasnya. Tuhan mempertemukanku dengan laki-laki ini dalam lingkungan sekolah yang sama, satu pergaulan yang sama, satu kelas yang sama, satu perkumpulan teman yang sama, dan usianya pun sama. Kita sempat mempunyai cerita masing-masing sebelum membangun dongeng yang sama, kita sempat mempunyai jalan berbeda sebelum memutuskan untuk menyatukan tujuan yang sama.
 
Bagiku, perjalanan yang masih berdiri kokoh hingga saat ini tidak terbilang mudah. Banyak luka didalamnya, banyak coretan-coretan didalam buku ceritanya, banyak warna gelap dan terang agar terlihat lebih bervariasi. Tidak hanya monoton; hitam putih saja. Walau begitu aku sungguh menikmatinya. Jalan panjang ini membuatku lebih mengerti bagaimana menghargai orang lain, bagaimana menghargai waktu yang masih tersedia, bagaimana melawan keegoisan demi kebahagiaan bersama, bagaimana indahnya saling berbagi dan memahami. Semua ku dapat selama beberapa tahun ini bersamanya. Hampir setengah lusin umur perjalanan ini terasa begitu cepat bergulir. Kita semakin dewasa, semakin tidak sabar untuk melukis kerajaan kecil yang akan kita bangun bersama. Membangun dari nol agar perjuangan lebih terasa, agar ketika hati lelah pada waktunya tidak mudah untuk menyerah dan meninggalkan.
 
Selamat berjuang untuk kita wahai kekasih hati, wahai sahabat, wahai musuh konyol, wahai teman seperjuangan. Keberuntungan itu selalu ku syukuri karena aku memiliki seorang kekasih dan sahabat pada satu wujud yang sama.
 
Semoga kamu juga mensyukuri keberadaanku, yang tak lain dan tak bukan juga kekasih dan sahabatmu sendiri.

Kamis, 03 Desember 2015

(seharusnya) senyuman bahagia untuk hari special



Aku ingin memelukmu seerat mungkin, ketika rindu itu mulai bertambah menjadi letupan-letupan kecil yang membakar secara perlahan lahan. Membakar diriku dengan api cemburu akibat kamu yang tak kunjung menemuiku disini. Membakar diriku dengan api amarah akibat perdebatan yang tak kunjung usai dari hari ke hari. Sudah banyak energi yang terbuang beberapa bulan belakangan ini, entah aku atau kamu yang memulainya.

Alasan aku selalu menanti hari ini adalah tak lain dan tak bukan agar kita kembali seperti biasa saja, layaknya kekasih yang bisa bersikap seperti kakak, sahabat, teman bahkan musuh konyol sekalipun. Yang ku tunggu adalah guratan bahagia kita menyambut hari special ini. Hari ini adalah hari dimana aku punya alasan untuk bisa merengek bertemu denganmu, aku punya alasan untuk bisa bermanja-manja denganmu, dan yang terpenting aku punya alasan untuk kita menghentikan perdebatan sengit ini. Banyak harapan yang ku gantungkan pada hari ini.

Namun, semua hanya sebuah ilusi saja. Yang berada digenggamanku hanya angan bukan jemari-jemarimu. Yang mampu ku tatap hanya sebuah kilasan foto yang tak bergerak, bukan nyata wajahmu. Yang bisa ku peluk hanya barang-barang pemberianmu, bukan hangat tubuhmu. Ini memang sulit diterima oleh hati tetapi fikiran selalu meminta agar bisa berfikir logis.

Setelah ku tau apa yang ku dapatkan dari jawaban hari ini, ku lepas semua harapan yang menggantung. Kini tak ada lagi harapan untuk hari ini ataupun esok selain kebahagiaanmu.

Hari ini aku hanya ingin menikmati satu hari setelah lima tahun perjalanan kita. Aku ingin diam saja sambil merasakan sisa-sisa rasa bahagia akibat ucapan yang kamu tuliskan pagi ini kedalam ponselku. Kamu mau bilang ini berlebihan? Kala aku merasa bahagia akibat ucapanmu pagi ini? Ku mohon jangan bilang seperti itu. Hargai saja perasaan seorang perempuan yang sedang jatuh cinta ini, maklumi saja perasaan seorang perempuan yang sedang merindukan laki-lakinya agar segera pulang.

Aku melaknat perdebatan yang terjadi diantara kita hari ini. Sungguh, seharusnya kita sedang berbahagia menyambut hari jadi kita yang kesekian kalinya, namun sepertinya semesta tidak mengizinkan itu.

Jika memang tidak bisa bahagia hari ini, setidaknya jangan buat bulir-bulir airmata jatuh dari  tempat persembunyiannya. Seharusnya senyuman bahagia yang kita torehkan untuk hari special, bukan menciptakan suasana hati berawan yang akan berujung pada hujan.

Salam dari wanita yang sedang berbahagia hari ini
Salam cinta dari wanita yang sedang jatuh cinta lagi pada orang yang sama
Salam damai dari wanita yang sedang merindukan laki-lakinya agar segera pulang …