Selasa, 18 Februari 2014

Empat tahun yang lalu

Kita tak lagi bertatap muka sejak empat tahun yang lalu. Sudah tak bisa bercengkerama lagi sejak penyakit itu mulai menggerogoti tubuhmu hingga berhasil menghentikan detak jantungmu. Aku sudah tak bisa mendengar lagi alunan sepeda motormu ketika Tuhan mengambilmu lebih dulu. Empat tahun yang lalu, kamu yang menghembuskan nafas terakhir bersama ayat al-qur’an yang tak putus ku nyanyikan. Do’a malam yang tak luput ku panjatkan untuk sebuah pemulihan.

Rasanya terlalu sebentar kamu disini. Belum sempat kamu bercerita banyak tentang pengalaman kisah yang bisa menjadi pedoman kuat untuk ku genggam. Hal sadis yang begitu membuat alat pernafasanmu seakan tersumbat dan tak bisa lagi menghirup udara dengan leluasa. Tabung oksigen yang menjadi pembantu agar kamu bisa bertahan hidup lebih lama. Meski sekuat tenaga kamu menyembunyikan rasa sakit, wajah lelahmu tetap nampak dan tak bisa menipu. Meski sekuat hati kamu berkata baik baik saja, tetap wujud tubuhmu semakin kurus dan terlihat semakin menua.

Kamu yang sebelumnya begitu gagah, berwibawa, ramah dan pekerja keras. Hanya dalam hitungan bulan kegagahan itu luntur menjadi ketidakberdayaan. Bahkan untuk menopang badan saja memerlukan bantuan untuk tegak berdiri.

Ketika itu aku terus memalingkan wajah kala kamu terbatuk-batuk. Ketika itu aku tidak mampu menatap wajahmu kala selang oksigen tersambung dengan alat pernafasanmu. Bukannya aku tidak cinta, hanya saja aku begitu takut jika airmataku tumpah dihadapanmu. Memalingkan wajah dan tidak menatap wajahmu adalah salah satu cara agar aku terlihat kuat didepanmu; ayah. Ketika harus bolak-balik ke ruangan yang khas dengan bau obat, kenapa aku terus melangkah kaki untuk keluar? Tidak berlama-lama duduk disampingmu? Bukan karena aku tidak sayang, hanya saja aku begitu hancur ketika aku harus melihatmu tersiksa dengan semua alat kedokteran yang aku tau itu sangat menyakitkanmu.

Hingga kini; ketika aku menulis ini. Pertahanan airmataku hampir pecah, aku masih begitu sakit ketika satu-persatu memory tentangmu begitu hangat dilintasan fikiranku. Memory dimana beberapa terakhir itu kamu memintaku untuk membersihkan sela-sela tubuhmu yang berkeringat. Memory dimana beberapa terakhir itu kamu memintaku untuk memijat beberapa organ tubuh yang menurutmu begitu terasa lelah. Hingga akhirnya dihari itu aku menyenandungkan ayat suci al-qur’an sambil mengiringi satu nafas terakhirmu yang membuatku menjerit histeris; menangis. Hingga akhirnya aku memandikanmu ditempat permandianmu yang terakhir, dengan mata yang terpejam ikhlas aku basuh tubuhmu dengan lembut. Dengan kain kafan putih yang terbalut halus disekujur tubuhmu, kukecup kening seorang ayah untuk terakhir kalinya.

Ku berjalan gontai mengiringimu hingga sampai ke tempat dimana segala hal akan dipertanggungjawabkan, tanpa diskon dan tanpa meminta kesempatan (lagi). Derai airmataku masih sangat begitu deras ketika yang terlihat hanya pusara berhiaskan namamu. Sambil ku tebar bunga dan kusirami air mawar, ku berkata dalam hati “Selamat jalan ayah… Selamat datang dikehidupanmu yang baru. Sekarang giliranku yang menyenandungkan do’a untukmu, dan sampaikanlah pada Tuhan agar aku, kamu dan kita bisa berkumpul (lagi) dikehidupan selanjutnya…”

Kamis, 06 Februari 2014

Rasa yang tumbuh itu atas seizin Tuhan; Rasa cinta itu tidak pernah salah

Hanya bertemankan tulisan dan segudang do’a, aku menulis ini nyata karna luka yang sudah begitu dalam. Menurutku cinta itu hanya dirasakan dua orang, hanya ditempatkan dalam satu hati. Jangan dikira cinta seperti muatan kendaraan besar yang bisa ditumpangi banyak orang dan seenaknya semua orang bisa mencampuri didalamnya.

Rasa yang ku punya saat ini begitu menguat dan mengeras, rasa yang menurutku begitu sempurna. Rasa cinta itu wujud sifat Tuhan; bukan? Dan aku sangat percaya bahwa Tuhan mempunyai andil besar atas rasa yang timbul dalam hati. Atas seizin Tuhan aku mencintaimu, atas kehendak Tuhan aku punya cita-cita yang ingin kuwujudkan bersamamu. Harapan dan impian ku salah satunya; kamu. Sebelum aku mempunyai impian itu aku tidak pernah berfikir apakah mereka yang tau impianku akan mendukung atau tidak; ingin mendengar atau tidak.

Aku yang punya cinta; bukan mereka.

Aku selalu menutup telinga atas perkataan mereka tentang kita, perkataan yang semakin hari semakin lancang. Semakin hari semakin tidak bisa ku terima. Semakin hari guyonan itu semakin menyayat hati. Aku selalu membutakan pandangan ketika mereka membodoh-bodohkan kita atas rasa yang kita punya. Mereka bilang bahwa kita tidak pantas. Mereka bilang kita bukan terbaik. dan bahkan mereka bilang bahwa kita tidak akan bisa bersama.

Siapa mereka? Mereka kira mereka Tuhan? Yang sudah merasa sempurna, memiliki segalanya dan dengan gampangnya mereka menjadikan kita terdakwa; seakan rasa yang diciptakan Tuhan itu salah. Jika memang iya, dimana letak kesalahannya?

Aku tidak pernah meminta dengan siapa aku akan jatuh cinta. Aku tidak pernah memilih dengan siapa aku akan menjatuhkan hati. Dengan lancangnya mereka bilang bahwa kita akan menyesal telah memiliki rasa yang suci ini, rasa yang tidak pernah kupinta sebelumnya; bahkan ku gambarkan saja tidak pernah.

Aku begitu muak, aku begitu geram dan aku sudah gerah dengan mereka yang selalu merasa perkataannya adalah benar. Kita ini hanya dua insan yang sedang sama-sama merasakan keagungan cinta, merasakan hangatnya saling berbagi dalam wujud cinta yang merekah. Bagaimana bisa mereka bersikeras untuk memusnahkan rasa ini, sedangkan Tuhan memberi restu? Aku sungguh tidak mengerti dimana letak kesalahan yang mesti ku perbaiki. Aku ini hanya wanita biasa yang bisa terluka, yang bisa marah dan bisa menangis.

Hingga pada akhirnya saat ini, airmata membuktikan bahwa mereka memang sudah terlalu lancang untuk masuk kedalam kehidupanku. Sudah terlalu lancang untuk terus menjelek-jelekkan ciptaan Tuhan yang begitu aku sayangi.

Hay kalian, priaku tidak bersalah. Dia hanya seorang laki-laki yang mempunyai cinta, cinta yang mesti dia jaga dan cinta yang mesti dia bahagiakan. Dia hanya seorang laki-laki yang mempunyai sebuah impian, meski gelimangan harta tidak berpihak padanya. Harus berapa ratus kali lagi aku jelaskan bahwa aku tidak perlu wajah yang rupawan dan harta yang berlimpah, aku hanya ingin dia yang punya cinta untukku dan punya kebahagiaan yang akan dicurahkan untukku.

Dan teruntuk Tuhan.
Izinkan aku dan priaku membuktikan bahwa apa yang dikatakan mereka itu salah.
Izinkan aku dan priaku membuktikan bahwa apa yang dikatakan mereka hanya omong kosong.

Dan teruntuk mereka,

Semoga Tuhan mengampuni ketidaktahuan kalian yang sudah melukai begitu dalam. :’)