Kita tak
lagi bertatap muka sejak empat tahun yang lalu. Sudah tak bisa bercengkerama
lagi sejak penyakit itu mulai menggerogoti tubuhmu hingga berhasil menghentikan
detak jantungmu. Aku sudah tak bisa mendengar lagi alunan sepeda motormu ketika
Tuhan mengambilmu lebih dulu. Empat tahun yang lalu, kamu yang menghembuskan
nafas terakhir bersama ayat al-qur’an yang tak putus ku nyanyikan. Do’a malam
yang tak luput ku panjatkan untuk sebuah pemulihan.
Rasanya terlalu
sebentar kamu disini. Belum sempat kamu bercerita banyak tentang pengalaman
kisah yang bisa menjadi pedoman kuat untuk ku genggam. Hal sadis yang begitu
membuat alat pernafasanmu seakan tersumbat dan tak bisa lagi menghirup udara
dengan leluasa. Tabung oksigen yang menjadi pembantu agar kamu bisa bertahan
hidup lebih lama. Meski sekuat tenaga kamu menyembunyikan rasa sakit, wajah
lelahmu tetap nampak dan tak bisa menipu. Meski sekuat hati kamu berkata baik
baik saja, tetap wujud tubuhmu semakin kurus dan terlihat semakin menua.
Kamu yang
sebelumnya begitu gagah, berwibawa, ramah dan pekerja keras. Hanya dalam
hitungan bulan kegagahan itu luntur menjadi ketidakberdayaan. Bahkan untuk
menopang badan saja memerlukan bantuan untuk tegak berdiri.
Ketika itu
aku terus memalingkan wajah kala kamu terbatuk-batuk. Ketika itu aku tidak
mampu menatap wajahmu kala selang oksigen tersambung dengan alat pernafasanmu. Bukannya
aku tidak cinta, hanya saja aku begitu takut jika airmataku tumpah dihadapanmu.
Memalingkan wajah dan tidak menatap wajahmu adalah salah satu cara agar aku
terlihat kuat didepanmu; ayah. Ketika harus bolak-balik ke ruangan yang khas
dengan bau obat, kenapa aku terus melangkah kaki untuk keluar? Tidak berlama-lama
duduk disampingmu? Bukan karena aku tidak sayang, hanya saja aku begitu hancur
ketika aku harus melihatmu tersiksa dengan semua alat kedokteran yang aku tau
itu sangat menyakitkanmu.
Hingga kini;
ketika aku menulis ini. Pertahanan airmataku hampir pecah, aku masih begitu
sakit ketika satu-persatu memory tentangmu begitu hangat dilintasan fikiranku. Memory
dimana beberapa terakhir itu kamu memintaku untuk membersihkan sela-sela
tubuhmu yang berkeringat. Memory dimana beberapa terakhir itu kamu memintaku
untuk memijat beberapa organ tubuh yang menurutmu begitu terasa lelah. Hingga akhirnya
dihari itu aku menyenandungkan ayat suci al-qur’an sambil mengiringi satu nafas
terakhirmu yang membuatku menjerit histeris; menangis. Hingga akhirnya aku
memandikanmu ditempat permandianmu yang terakhir, dengan mata yang terpejam
ikhlas aku basuh tubuhmu dengan lembut. Dengan kain kafan putih yang terbalut halus
disekujur tubuhmu, kukecup kening seorang ayah untuk terakhir kalinya.
Ku berjalan
gontai mengiringimu hingga sampai ke tempat dimana segala hal akan
dipertanggungjawabkan, tanpa diskon dan tanpa meminta kesempatan (lagi). Derai
airmataku masih sangat begitu deras ketika yang terlihat hanya pusara
berhiaskan namamu. Sambil ku tebar bunga dan kusirami air mawar, ku berkata dalam
hati “Selamat jalan ayah… Selamat datang dikehidupanmu yang baru. Sekarang giliranku
yang menyenandungkan do’a untukmu, dan sampaikanlah pada Tuhan agar aku, kamu
dan kita bisa berkumpul (lagi) dikehidupan selanjutnya…”