Aku sangat suka menjelajahi suasana luar
bersamamu, menyenandungkan nyanyian yang sama-sama kita suka, menertawakan
apapun yang kita rasa itu lucu dan patut ditertawakan, menceritakan hal-hal
konyol dari yang penting hingga yang tidak penting sekalipun. Aku sangat suka
berlama-lama ngobrol denganmu lewat telepon sampai kamu ketiduran; sampai aku
kelelahan mengoceh. Aku sangat tidak sabar menunggu akhir pekan itu tiba, kamu
tau kenapa? Karena diakhir pekan itu kita suka menghabiskan waktu berdua,
melepas semua lelah dengan bauran tawa yang hampir selalu kita lakukan setiap
pekan. Aku sangat suka moment dimana setiap orang memperhatikan kita,
memperhatikan gelak tawa dan hangatnya kebersamaan kita. Aku suka pandangan
mereka yang mengisyaratkan bahwa mereka ingin seperti kita, dengan begitu aku
merasa beruntung memiliki kita.
Sayangnya itu dulu, Tuan. Sebelum waktu kita
terberai dengan kepadatan rutinitas masing-masing. Lagi lagi harus aku katakan
tentang kesibukan (lagi), maafkan. Aku begitu cemburu dengan orang orang diluar
sana yang dengan leluasa bisa melihatmu setiap hari, aku begitu cemburu dengan
mereka yang bisa tertawa denganmu; menikmati senyummu. Sedangkan aku? Kita seperti
terpisah antara dua kota, antara dua desa yang berada dipedalaman. Dekat terasa
jauh, mudah terasa sulit.
Kamu tidak akan pernah tau apa yang
menjadikan dadaku begitu sesak dan sulit bernafas, karena memang aku tidak
memberitahumu tentang hal ini lebih dulu. Aku lebih memilih diam dan lebih
memilih meminimalisir rasa yang ada sekarang; sendiri. Aku rasa sendiri itu
cukup, menenangkan segala resah dengan berbicara bersama Tuhan. Maklumi saja,
sebab yang membuat rasa ini begitu menyesakkan adalah rindu. Rindu yang
terlanjur menumpuk. Aku sudah berusaha menekan segala rinduku ini, Tuan. Bahkan
aku sudah mencoba untuk memudarkan segala rindu dan menyamarkan semua keresahan
dengan senyum yang tertahan. Namun kamu tau apa yang terjadi? Semakin ku
menekan dan memudarkan, rasa rindu ini, semakin meninggi dan tidak terkendali.
Padahal aku sudah mempersiapkan cerita yang
ingin ku sampaikan, Tuan. Aku begitu semangat untuk membicarakan cerita itu
kepadamu, karena aku tau ini cerita yang membahagiakan; cerita tentang apa yang
selama ini menjadi pertanyaan kita. Cerita ini adalah jawabannya, Tuan. Dari jauh-jauh
hari sebelum akhir pekan itu datang, aku sudah sibuk menyusun kata agar ketika
aku ceritakan susunan katanya bisa tertata rapi dan kamu mudah mengerti. Aku sudah
memilih diksi kata yang tepat untuk menceritakan hal itu kepadamu, Tuan. Agar ketika
akhir pekan itu tiba, kamupun merasa antusias untuk mendengar ceritaku; bukan
hanya aku.
Namun sayangnya, kamu tidak kunjung datang
saat akhir pekan itu tiba. Saat itu aku terus menunggu meski pada akhirnya aku
akan tau bahwa penantianku hanya sia-sia. Aku menunggu sejak matahari sudah
berada diperaduannya sampai bulan menampakkan sinarnya, hingga jam malam
tidurku itu tiba. Yang muncul hanya kata maaf; maaf karena waktu kamu tersita
bukan untuk aku. Kamu tau, Tuan? Itu rasanya nano-nano, tapi aku berusaha untuk
tetap memaafkan dan bersikap biasa meski pada akhirnya pertahananku meledak, aku
memilih untuk tidak menghubungimu dulu. Maafkan, Tuan. Maafkan karena ini
memang tidak mudah.
Sampai detik ini aku masih menenangkan hati;
bukannya aku menghindarimu, aku hanya menghindari pertengkaran. Mulai hari ini aku
ingin menikmati rindu itu hanya dalam hati, Tuan. Tanpa pengungkapan tanpa
janji sebuah pertemuan, biar rindu ini mengembang dan semakin besar. Karena dengan
diam, begitulah caraku merindukanmu. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar