Dalam keadaan sering kehilangan
kabar darimu, aku selalu mempertanyakan rencana apa yang sedang Tuhan rancang. Didalam
memory tidak ada satupun kalimat yang ku lupakan sejak pertama kali kamu mengungkapkan
rasa, tidak ada sikapmu yang hilang dari ingatan sejak pertama kali kamu menggenggam
tangan. Semua masih terekam jelas disini, dimana perdebatan hati dan fikiran
selalu beradu menjadi satu. Tidak pernah sejalan tapi dipaksa untuk beriringan.
Semakin hari berganti hari, semakin bertambahnya usia hubungan kita. Aku semakin
takut kebersamaan kita terbelah karena komunikasi kita yang berantakan. Sebelumnya
aku sudah menjelaskan kecemasan ini lebih dulu kepadamu, kecemasan bahwa
mungkinkah akhir dari kita akan menjadi sama seperti mereka? Mereka yang
awalnya begitu sumringah mendengar kata cinta, sekarang seakan muak dengan
sebutan nama itu.
Aku yang sering kehilangan kabar
darimu, terkadang ingin sekali melakukan hal yang sama seperti kamu. Melakukan aktivitasku
dengan leluasa tanpa harus diingatkan untuk mengabarimu. Beberapa kali aku coba
untuk melakukan hal yang sama sepertimu, namun aku selalu gagal untuk itu. Mungkin
saja kamu tidak punya cinta yang sebegini besarnya sepertiku, hingga aku bukan
lagi menjadi prioritas utamamu. Mungkin saja kamu tidak punya kecemasan
sebegini besarnya sepertiku, hingga kamu begitu sulitnya untuk mengingatku. Benarkah
begitu, sayang?
Seringkali aku mencoba acuh dan
seakan tidak peduli dengan hal yang kamu lakukan sesuka hati diluar sana, tanpa
aku ketahui; tanpa kamu perlihatkan. Seringkali aku bilang, “tidak apa-apa
bagiku” ketika kamu ucapkan kata maaf kala kamu tidak mengabariku barang
sedetikpun. Andai kamu berada disampingku saat aku bilang kalimat ampuh itu,
mungkin aku sudah melebur ke dalam pelukanmu. Andai kamu berada disampingku
ketika aku mulai marah dengan kelakuanmu, mungkin aku tidak akan secengeng ini.
Sayangnya, itu semua terlihat mustahil.
Ah sudah. Jangan dengarkan ocehan
wanita ini, sayang. Biarkan, biarkan sang waktu yang akan meleburkan semua
amarah dihati. Biarkan aku tetap menjadikanmu hal yang terpenting bagiku, meski
pada akhirnya kamu tidak akan melakukan hal yang sama. Biarkan aku tetap
bermain didalam peranku, mengalir mengikuti pola yang seharusnya aku lakoni. Meski
pada akhirnya bahagia itu masih abu-abu.
Dari wanita
yang masih saja berharap
bahwa dialah tempatmu pulang…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar