Dari kecil selalu diantar ke
sekolah. Dari mulai TK, SD hingga SMP. Lahir dari keluarga yang terbilang cukup
kolot, tidak membuat saya merasa menyesal. Malah saya bahagia memiliki mereka,
keluarga yang begitu luar biasa. tidak pernah merasa menyesal jika pergaulan
saya sempit, jika keluar rumah hanya untuk urusan pendidikan saja. Karena saya
percaya apa yang dilakukan, peraturan apa yang telah ditetapkan semata-mata
hanya untuk kebaikan saya. Karena orang tua saya pun lebih tau bagaimana pergaulan
diluar, maka dari itu mereka begitu menjaga saya dengan sangat baik.
Saya tidak pernah malu ataupun
marah jika selalu dibilang anak rumah, kurang update, miskin pergaulan. Karena
bagi saya dengan hidup ditengah mereka saja saya sudah bahagia. Mengemban ilmu
dari mereka, ajaran yang saya ambil dari mereka juga tidak kalah berharga dari
pergaulan yang tidak terkontrol diluar sana. Dengan aktivitas seorang anak
rumahan yang kata orang begitu membosankan, adalah hal yang sangat saya syukuri
saat ini. Terserah orang mau bilang apa tentang saya, ini hidup saya bukan
hidup mereka.
Dari kecil ketergantungan saya
terhadap orang tua tidak pernah putus, tidak pernah terfikir akan jadi apa jika
saya tanpa mereka. Bahkan membayangkan kehilangan mereka saja saya tidak pernah
sanggup. Pendidikan pun atas kehendak orang tua saja, saya pun tidak pernah
merasa keberatan. Karena saya percaya pilihan mereka adalah yang terbaik.
Sampai saat saya memasuki usia
lima belas tahun, dimana mereka memberikan kepercayaan pada saya untuk bisa
belajar menjaga diri. Bukan hal mudah bagi saya untuk bisa beradaptasi pada
lingkungan baru, pada sekolah baru, pada tingkatan baru dan bertemu orang baru.
Menempuh jarak yang cukup jauh untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi,
bukan hal mudah bagi saya bersahabat dengan keramaian jalan dan macetnya
ibukota. Tapi semua itu terasa mudah ketika sudah menjadi kebiasaan.
Saya belajar mandiri pada saat
itu, tak melulu harus diiringi orang tua karena lambat laun, mau tidak mau saya
harus mampu berdiri sendiri. Tuhan selalu punya rencana yang tidak pernah
diduga sebelumnya dan sepahit apapun kenyataan selalu ada maksud yang indah
dibaliknya.
Saat semangat atas impian sedang
menggebu-gebu, saat semangat saya untuk lulus sedang dimulai, saat pemikiran
dewasa saya sedang dilatih, dan saat kemandirian saya sedang diuji saya harus
kehilangan cinta pertama yang enam belas tahun sudah menjadi pahlawan saya.
Kacau balau, semangat saya patah, harapan remuk, kakipun tak mampu untuk
melangkah, badan rasanya tak bisa untuk menopang dan logika berhenti bekerja.
Pesimisku, bagaimana mungkin aku bisa menjalani hidup tanpa ada seorang
pahlawan. Pahlawan yang akan selalu ada saat aku merasa taku, saat aku merasa
asing, saat aku merasa malu, saat aku merasa sedih, saat aku merasa kecewa.
Tangisku pecah namun ketidakpercayaan ku tinggi.
Sebulan kepergian cinta pertama,
aku masih tidak percaya dengan kenyataan yang ada. Yang aku tau dia akan
kembali dalam waktu dekat. Penantian itu ada, suara motor selalu terngiang
ditelinga sampai terkadang aku selalu menunggu kedatangannya lewat pandangan
yang tertuju pada balik pintu. Berharap cinta pertama saya datang, mengetuk
pintu dan kembali ke kediaman. Namun saya tersadar saat penantian panjang
selama dua bulan itu tak kunjung datang.
Dear cinta pertamaku,
Sesungguhnya aku mendambakan
sosok sepertimu didalam diri laki-laki yang akan meminangku kelak. Hanya aku
tidak ingin terlalu berharap untuk itu, aku belum siap jika harus terluka lagi
dan lagi. Melihat wajahmu saja merupakan sebuah kekuatan untukku. Maka saat ini
aku lebih memilih untuk membahagiakan diriku sendiri, melindungi diriku sendiri
tanpa mengharapkan apapun dari siapapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar