Selasa, 20 Oktober 2015

ISTRIMU ADALAH BAJUMU

Alkisah ada suami isteri di usia senja. Tinggal di rumah yang telah dihuni puluhan tahun. Dua anak mereka telah mandiri.
Suami pensiunan, sedang isteri ibu rumah tangga. Mereka lebih memilih tinggal di rumah yang sekarang meski anak-anak meminta mereka pindah. Jadilah mereka berdua yang sudah renta, menghabiskan waktu sisa di rumah yang telah jadi saksi ribuan bahkan jutaan peristiwa.
Suatu saat lepas senja bada halat Isya, di masjid tak jauh dari rumah, isteri tak temukan sandalnya. Saat sibuk mencari, suami menghampiri: “Kenapa, Bu?” Isteri menoleh sambil berkata: “Sandal ibu gak ketemu Pak”.
“Ya sudah gak apa-apa. Pakai sandal ini saja”, kata suami sambil sodorkan sandal yang dipakainya. Walau ragu, isteri kenakan sandal bapak.
Menuruti perkataan suami adalah kebiasaannya. Jarang membantah. Paham kegundahan isteri, suami genggam lengan isteri.
Pikiran suami berkelebat.
Bagaimanapun aku bisa melangkah karena ditopang kaki isteriku selama puluhan tahun. Terimakasih sebanyak, sebesar, dan sedalam apapun takkan pernah setimpal dengan apa yang telah dilakukan untukku.
Kaki isterinya yang mungil, selalu berlari kecil membukakan pintu untuk-ku saat aku pulang kerja. Juga di tengah-tengah malam. Kaki yang telah antar anak-anak ke sekolah tanpa kenal lelah. Kaki yang menyusuri berbagai tempat mencari kebutuhanku dan anak-anak di rumah.
Sang isteri memandang suaminya sambil tersenyum. Dengan tulus mereka kembali ke rumah setelah shalat Isya berjamaah di masjid.
Di usia lanjut, penyakit diabet telah menyerang pandangan mata isteri. Saat kesulitan merapihkan kuku, suami dengan lembut membantu.
Suami ambil gunting kuku dari tangan isteri. Jari-jari yang sudah keriput digenggam suami. Lalu dipotong kuku isteri.
Setelah selesai, dikecup jemari isteri. Suami lirih berkata: “Terimakasih ya, Bu”. Sembari tersenyum suami memandang wajah isteri. “Tidak, Pak. Ibu yang seharusnya berterimakasih. Bapak telah membantu memotong kuku Ibu”, tukas isteri tersipu-sipu.
“Terimakasih untuk semua pekerjaan luar biasa repotnya, yang tentu tak sanggup aku lakukan. Aku takjub betapa luar biasanya Ibu. Aku tahu semua takkan terbalas sampai kapanpun”, kata suami tulus.
Mata ibu sembab. Dua titik air mata menggayut di mata isteri. “Bapak koq bicara begitu?” Ibu senang atas semuanya, Pak. “Apa yang telah kita lalui bersama adalah sesuatu yg luar biasa. Ibu selalu bersyukur pada keluarga, baik atau buruk. Semua kita hadapi,” tambah Ibu.
Hari Jumat yang cerah, suami siap berangkat ke masjid. Setelah pamit, suami menoleh sekali lagi pada isteri, dengan wajah teduh, bening.
Tak ada tanda apapun, seperti biasa. Hingga beberapa saat kemudian, beberapa orang mengetuk pintu memberi kabar yang tak pernah diduga.
Inalillahi waina ilahihi rojiun. Bapak, suaminya, siang itu telah menyelesaikan perjalanan di dunia. Menghadap Sang Khalik.
Bapak pulang saat sedang duduk di tahiyat akhir Shalat Jumat. Telunjuknya masih sempurna menunjuk Kiblat. Subhanallah, sungguh akhir perjalanan hidup yang indah. Demikian gumam para jama’ah setelah menyadari ada jamaah yang wafat saat shalat.
Ibu tersadar, ketika bapak menoleh lagi sebelum beranjak keluar pagar. Terbayang tatapan terakhir Bapak. Senyumnya teduh. Apakah itu tanda bahwa suaminya berat hati akan meninggalkan isteri untuk selamanya? Ibu mendesah sesunggukkan.
Beberapa hari kemudian, Ibu bermimpi bertemu suaminya. Dengan wajah cerah, suami hampiri dirinya. Membelai rambutnya selembut dulu.
“Apa yang Bapak lakukan?” tanya isteri bercampur bingung. “Ibu harus kelihatan cantik. Kita akan lakukan perjalanan jauh”.
“Bapak tak bisa tanpa ibu. Bahkan setelah kehidupan dunia ini berakhir sekalipun. Bapak selalu butuh Ibu”.
“Saat Bapak disuruh memilih pendamping, Bapak bingung. Bapak bilang pendamping saya tertinggal. Saya mohon izin untuk menjemputnya”.
Isteri menangis sebelum akhirnya berkata: “Ibu ikhlas Bapak pergi. Tapi Ibu tak bisa bohong kalau Ibu takut sekali sekarang sendirian”.
“Kalau ada kesempatan mendampingi Bapak sekali lagi, apalagi untuk selamanya, tentu tidak akan Ibu sia-siakan”.
Tangis ibu berganti dengan senyuman. Senyum terakhir yang indah dalam mimpi ibu yang terakhir pula.
Tetangga berdatangan, memandikan jenazah seorang wanita, yang hanya tiga hari setelah ditinggal Bapak.
“Isterimu adalah bajumu. Dan suami itu adalah bajumu pula.” (Al Baqarah 187).

Tulisan ini saya post kan di blog saya sengaja saya dedikasikan bagi anda, bagi saya dan bagi kita semua agar melihat betapa manisnya cinta sejati, karena Allah…melihat fenomena akhir akhir ini banyak sekali di sekitar kita ada pasangan yang mudahnya bilang “pisah” , mudahnya bilang ” cerai”…tak tahu kah kalian betapa suci nya pernikahan itu bahkan tak terperihkan sakitnya jika kata pisah itu telah terucap dalam mulut kita…
Entah hati yang mana yang sanggup mengucapkan kata pisah..entah hati yang mana yang sanggup menggoreskan luka diatas ikatan suci..entah hati yang mana yang menghilangkan rasa cinta dan menumbuhkan kebencian dari tali kasih yang sebelumnya tertanam..entah hati yang mana jikalau ada anak, kita meluapkan ego untuk berpisah dan menghancurkan semua keindahan antara kasih sayang ayah, ibu dan anak..
sungguh saya tidak bisa berpikir..namun..semoga dengan tulisan diatas..kita semua jadi lebih matang, lebih sabar akan semua ombak yang menerpa perahu yang kalian bina dalamm rumah tangga…meraih bersama sampai ujung dunia..hingga ajal tiba dan disatukan dalam Surga.

Tulisan ini saya kutip dari blog seorang penulis  : Joko Hariyanto.
Betapa bahagianya jika cinta tanpa ada kata "pisah". Pertengkaran memang selalu perlu dalam sebuah ikatan, agar mempererat hubungan biar semakin manis. Penyelesaiannya memang butuh airmata untuk mendewasakan, terkadang butuh instrospeksi agar saling sadar. Semua selalu punya jalan keluar tanpa harus mengucapkan kata "pisah". Memulai bukan berarti endingnya harus selalu berakhir. Karena saya pun percaya, cinta sejati itu ada. Ada disetiap diri manusia, hanya bagaimana manusia itu sendiri menerimanya. Seperti halnya setiap manusia punya sisi mendua, tinggal bagaimana caranya manusia itu mengendalikan diri agar tetap setia pada satu nama.

Menetap dan setia pada satu nama...

Takkan ada lagi


Kini kamu memutuskan untuk pergi (lagi). Entah kali ini hanya pergi untuk kembali atau pergi takkan pernah kembali lagi. Lelah yang sudah berada diambang puncak memecahkan semuanya, meruntuhkan segala angan yang sudah hampir ditangan. Lagi lagi kalimat itu yang harus selalu ku baca ditengah percakapan sengit kita, kalimat yang begitu menohok hingga ke jantung. Mungkin bagimu aku hanya selentingan perempuan yang hanya pantas menjadi bagian dari masa lalumu, yang kamu tidak pernah sadari bahwa perempuan ini sudah sangat siap untuk dijadikan pemberhentian terakhirmu. 
 
Mungkin bagimu ini mudah. Membiasakan diri untuk berjalan sendiri, tertawa sendiri, berjuang sendiri. Kamu datang dan pergi sesuka hati, tanpa kamu sadari bahwa kalimat yang kamu katakan kemarin masih menari-menari didalam fikiranku. Aku memang masih tidak percaya, tapi inilah kenyataannya. Satu keburukan dan tingginya keegoisan mampu menghilangkan segala perjuangan yang sudah kita lalui sama-sama. Kini takkan lagi ada aku. Takkan ada lagi kamu. Takkan ada lagi kita. Takkan ada lagi deringan telpon darimu. Takkan ada lagi getaran ponsel berisikan pesan singkat dariku. Takkan ada lagi rengekan manjaku. Takkan ada lagi pelukanmu. Takkan ada lagi kebersamaan kita . Takkan ada lagi tawa dan canda kita yang begitu renyah. Kita hanya berujung pada cerita. Saat ini namamu cukup menjadi perbincangan antara aku dengan Tuhan, menjadi inspirasi antara aku dengan cerita pendekku. 

Nyatanya, perempuan ini hanya berakhir ditempat pembuangan yang tidak lain dan tak bukan hanya akan kamu bumihanguskan (perlahan-lahan). Bagian akhir dari perempuan ini hanya dilupakan, tidak lebih dari itu.
Entah kebodohan yang mana lagi yang menurutmu itu fatal. Kamu lupa, bahwa perempuan ini juga manusia yang punya rasa. Bukan batu atau baja yang jika dihantam akan terus berdiri kokoh. 
 
Segala kekurangan sudah ku nikmati, dan kelebihanmu yang begitu luar biasa membuatku berterimakasih. Karena keyakinanku, aku memberikan seluruh bahagiaku. Walau sebenarnya itu hal yang salah, hingga ketika kamu pergi kebahagiaanku pun ikut terbawa olehmu.

Sejak jam, menit, detik kamu melepaskanku, sejak saat itu juga rasanya seperti aku tidak berselera mencintai siapa-siapa lagi. Bodoh? Memang. Tolol? Memang. Tapi begini adanya.
Kamu memintaku selalu menjadi yang terbaik, menjadi yang sempurna, menjadi yang kamu mau. Tanpa pernah berfikir, dengan apa adanya kamu perempuan ini mampu menerima segala baik burukmu. Suka, duka, senang, sulit; perempuan ini selalu telan sendiri. Dan sekarang kamu melepaskan seorang perempuan hanya karena tidak dapat menerima segala kekurangannya? Hanya karena ada ketakutan dalam dirimu yang luar biasa; ketakutan bahwa perempuanmu tidak bisa menjadi yang kamu mau kelak. Padahal jauh dari hari kemarin, dari lubuk hati seorang perempuan ini juga menyimpan ketakutan. Tapi apa yang dilakukan? Hanya ditelan sendiri, berharap semua akan baik-baik saja, meyakinkan diri bahwa pilihannya tepat. Tapi apa? Sebuah pilihannya mampu meninggalkan hanya karena sebuah ketakutan, ketakutan yang membuat semua sikap selalu salah dan salah. 
 
Perempuan yang kamu buang (secara terpaksa atau tidak, secara pura-pura atau tidak) pasti akan mampu melewati hari-harinya. Selalu akan bisa menata kembali mimpinya tanpa sebuah pilihan. Selalu akan bisa bertahan dalam kehidupannya. Yang perempuan ini selalu harapkan hanya sebuah kebahagiaan bagi orang yang dicintainya. Karena aku begitu paham bagaimana kelemahanmu, dan selalu berharap bahwa kamu akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya.

Yang selalu perempuan ini minta kepada semesta hanya sebuah keberhasilan dalam kehidupanmu. Agar takkan pernah ada lagi yang merasakan masa sulitmu, agar takkan pernah ada lagi guratan amarah di wajahmu, agar takkan pernah ada lagi cacian yang keluar dari dalam mulutmu.

Yang selalu perempuan ini percaya, bahwa akan ada sosok lain yang pesonanya melebihi dari perempuan ini. Yang mampu membahagiakanmu lahir dan batin, yang mampu mengingatkanmu bahwa wujud cinta itu adalah memaafkan, yang mampu menjadi masa depan terbaik untuk keluarga kecil kalian kelak.

Sekalipun kamu hanya berpura-pura membuangnya, bisa jadi dia tidak akan pernah pulang lagi. Karena sesuatu yang sudah dibuang takkan pernah menjadi hal yang berguna lagi bagi pemiliknya, sekalipun memang berguna kenapa harus dibuang?

Selasa, 06 Oktober 2015

Perempuan ini



Ku katakan dulu sedari awal ya. Tulisan ini sebenarnya tidak penting, tulisan yang hanya berisi ungkapan kekecewaan seorang perempuan akibat harapannya sendiri. Asa terlalu tinggi yang berhasil menghempaskan jiwa seorang perempuan yang keras kepala. Seorang perempuan yang mudah menggebu-gebu dalam melakukan sesuatu, yang selalu berkata bahwa perempuan ini wonder woman; padahal yang terpampang jelas didalam hatinya hanya ada kerapuhan. Kerapuhan yang tersembunyi dibalik tawa dan senyumnya.
Perempuan ini mempunyai rasa “tahu diri” yang terbilang akut, hingga harus berfikir berkali-kali untuk melakukan sesuatu. Terlalu banyak pertimbangan, terlalu panjang berfikir sampai lupa bahwa waktu bisa habis kapan saja.

Perihal mencintai dan dicintai. Perempuan ini tak terlalu memusingkan semenawan apa rupanya, karena rupawan akan hilang dimakan usia. Tak terlalu memusingkan seberapa banyak harta yang dimiliki, karena materi tak dibawa sampai mati. Hanya bagaimana dia nanti bisa bertanggung jawab, konsistensi dalam berkomitmen, merasa cukup dan selalu bersyukur apa yang telah dimiliki. Tak perlu muluk-muluk untuk menerima dia yang kelak akan seutuhnya mencintai perempuan ini, yang mampu menerima baik buruk sikapnya, yang bersedia tetap berjalan beriringan sesulit apapun keadaannya.

Perempuan ini bukan orang baik jadi tidak pernah menuntut untuk dipasangkan dengan yang baik. Perempuan ini tau betul seperti apa kapasitas dirinya, seberapa tinggi tingkatan emosinya, seberapa lebar kadar kecemburuannya. Cukup yang bersedia untuk melangkah bersama ke jalan yang lebih baik tanpa pernah menuntut kesempurnaan didalamnya. Kelak, bukankah pernikahan memang diutus untuk dua orang? Dua orang yang harus saling mengerti, saling berbagi, saling melengkapi, saling menerima, saling saling dan saling. Semua harus selalu ada kata saling didalamnya. Bukan satu orang yang berjuang dan satu orangnya lagi sibuk dengan dunianya sendiri. Bukan hanya satu orang saja yang memperbaiki diri dan satu orangnya lagi masih keras kepala dengan sikapnya. Bukan hanya satu orang saja yang menunggu dan satu orangnya lagi malah bersenang-senang dengan caranya.

Perempuan ini punya ketakutan dan ketraumaan yang tidak pernah orang lain tau. Perceraian, perdebatan panjang, perpecahan. Semua terasa begitu melekat di bilik ingatan seorang perempuan yang sudah tidak remaja lagi.

Jangan selalu melihat sisi buruk dari perempuan ini, karena sampai kapanpun dia tidak akan terbilang pantas untuk disandingkan dengan siapapun. Jangan lagi patahkan hati perempuan ini, sudah terlalu banyak bekasan luka akibat berdarah dan memar. Jangan lagi lukai hati perempuan ini dengan perkataan yang begitu menusuk jantung, karena kelemahan perempuan ini tidak pernah bisa melupakan hal yang mampu membuatnya menangis.

Hidup ini singkat. Jika kamu ingin menjadikan perempuan ini tujuan akhir, tetap berjalan dengan menerima segala baik buruknya. Saling membahagiakan, menerima dan syukuri. Namun, jika kamu takut dikemudian hari menyesal telah memilih perempuan ini; maka pergilah dan bersandinglah dengan perempuan yang kamu inginkan. Mungkin dengan begitu kamu akan memahami bahwa tidak ada yang mampu mencintaimu sebesar ini.