Selasa, 17 Desember 2013

Masih denganmu

Pertemuan yang membahagiakan. Mengundang tawa setelah berhari-hari kita melawan amarah, menciptakan peluk setelah berhari-hari kita bertarung hebat dengan kekuatan ego. Dua hari yang lalu tepatnya, aku masih diizinkan untuk melihat matamu yang menyipit ketika kamu tertawa. Senyummu yang mengembang saat kata-kata konyolku terlontar. Rasanya aku tidak ingin mengakhiri malam pada hari itu. Jika saja aku bisa menahan waktu agar bisa lebih lama denganmu, aku akan lakukan semauku. Sayangnya, itu hanya sebatas imajinasiku.

Malam itu setelah pijakan kaki sudah berada dikediamanku, kita duduk untuk beristirahat mengatur nafas yang kian memburu. Kamu yang kelelahan karena mengemudikan sepeda motormu, dan aku yang kecapaian karena kebawelanku sendiri. Kamu bertanya apakah aku bahagia. Aku ingin mengatakan “seperti ini. Seperti sekarang ini. Duduk berdua denganmu. Kamu nyata terlihat disampingku. Menatap raut wajah dan senyum mengembangmu. Melihat deretan gigi yang tampak rapi ketika kamu tertawa. Itu sangat membahagiakan.”
Tetapi malah aku hanya mengatakan, “aku bahagia sekali. Jika tidak bahagia, aku tidak akan bertahan sejauh ini denganmu.” Aku kembali bertanya, apakah kamu bahagia. Dia mengatakan, “bahagia sekali. Jika tidak bahagia, aku sudah menggandeng wanita diluar sana”.

Kamu masih dengan wajah serius; kita sama-sama memperbincangkan rancangan masa depan yang begitu tertata. Kamu ingin ini, ingin itu, bilang ini, bilang itu, janji ini, janji itu. Dibalik ribuan kata yang kerap kali aku dengar, ada satu do’a yang tidak henti ku dendangkan dalam hati, “semoga kamu membuktikan itu semua, semoga kamu membuktikan itu semua, semoga kamu membuktikan itu semua”.

Kamu, dengar ini. Aku memang bukan tipe wanita yang senang berjanji bahkan aku bukan wanita yang pandai merayu. Tidak jarang aku selalu diam ditengah-tengah obrolan kita, memang. Rasa bingung selalu menghampiri di seberang telpon sana. Bukan berarti aku tidak sayang apalagi cinta. Hanya saja untuk berkata banyak, aku belum terlatih. Kamu tau bukan? Untuk berbicara didepan halayak banyak saja, aku harus mempunyai kekuatan besar untuk melawan rasa gugupku.

Sedikit bicaraku bukan menandakan bahwa rasa sayangku pun sedikit pula, namun itu hanya sebuah karakter yang melekat jelas didalam diri.

Disini aku hanya mampu menjaga setiaku. Karena aku tau betul bahwa ada hati yang masih harus ku jaga; kamu. Aku banyak mengenal pria dilingkungan luarku saat ini, tetapi apakah aku tergoda? Ayo tebak…

Ketika malam semakin larut, kamu pamit pulang pun sudah tidak bisa terelakkan. Kecupan yang selalu mendarat dikeningku, membuatku semakin tidak ingin lagi kamu pergi. Disini saja. Temani hari-hariku. Berada dalam pelukanmu ketika mata terbuka lebar kala mentari pagi mulai menyapa. Bergenggaman hangat kala dingin mulai menusuk tulang rusuk.

Rintik hujan membangunkanku dari lamunan, dan tersadar bahwa kamu sudah lenyap dari pandangan malam.

Kamis, 12 Desember 2013

Kutipan ini untuk kamu


“Ini bukan tentang lebih tua, seumuran atau lebih muda. Ini tentang yang menyeimbangkan hidup dan yang bisa berjalan beriringan. Yang memberi kedamaian di hati, kenyamanan disisi dan kasih sayang tiada henti. Tentang tertawa bersama, saling  mensupport, mendoakan satu sama lain. Berbicara lepas tak berbatas tanpa berfikir ini pantas atau tidak. Ketika dunia begitu kejam, dia menjadi tempatmu untuk selalu pulang. Yang bisa membuatmu sangat sabar dan berusaha mengerti meski sulit.

Menerimamu apa adanya meskipun kamu cuma seadanya. Wajah mungkin tak rupawan tapi kebersamaan dengannya itu sesuatu yang kamu yakin harus kamu perjuangkan. Masa lalunya tidak kamu persoalkan karena tau itu yang membentuknya sekarang. Kekurangan masing-masing adalah tugas bersama untuk belajar saling menerima dan memperbaiki agar jadi lebih baik. Tentang dia yang kamu ikhlas seumur hidup menjadi imamnya. Membuatmu bangga menjadi ayah dari anak-anaknya.”



Kutipan ini yang pernah aku rekam dan ku kirimkan ke dalam ponselmu. Entah kamu mendengarkan dalam-dalam atau tidak, mendapat komentarmu saja aku sudah girang. Kamu, masih ingat kah?

Ini kutipan untuk kamu.
Yang tidak pernah ku permasalahkan jangka usianya. Kamu yang tidak pernah ku bandingkan dari segi materinya. Kamu yang mampu melukis senyum perahu dalam keseharianku. Yang membuatku begitu hangat bersama lengan pelukanmu. Yang membuatku begitu damai kala kecupanmu mendarat dikeningku.

Ini kutipan untuk kamu.
Yang ku cintai bersama kesederhanaanmu. Dengan segala kekurangan; kita coba untuk saling menerima dengan hati yang lapang. Yang mampu membuat semangatku begitu membara kala pesimis mulai datang bergerombolan.

Ini kutipan untuk kamu.
Yang setiap harinya tidak pernah lengah dalam daftar nama do’aku. Yang menjadi salah satu impian dari banyaknya cita-citaku. Yang tidak pernah ku persoalkan bagaimana rupawan fisikmu. Yang selalu ku harapkan kehadiranmu disetiap aktivitas keseharianku. Yang menyuruh otakku untuk selalu mengingatmu ditengah kesibukanku.

Ini kutipan untuk kamu.
Yang berhasil mengunci pintu hatiku hanya untuk kamu. Yang membuatku tidak sedikitpun tergoda dengan pria yang lebih rupawan. Yang tak pernah tenang jika kabarmu tak hinggap dalam ponselku. Yang selalu menunggu waktu untuk kita saling tatap mata dengan nyata. Yang rela bertingkah konyol dihadapanmu; agar tawa terbahak itu tercipta.

Lagi lagi kutipan ini untuk kamu.
Yang mampu membuatku begitu tegas kepada pria diluar sana; bahwa hatiku hanya milik kamu tak ada yang lain. Yang begitu terasa amat menyenangkan ketika sudah duduk berdampingan denganmu. Yang telah membuatku nyaman ketika jemari saling bergenggaman.

Ini kutipan masih untuk kamu.
Yang mengajarkan aku pentingnya arti dari sebuah kesabaran. Yang membuatku paham sakitnya sebuah luka. Yang mampu membuatku mengerti nyamannya sebuah kesetiaan. Yang mengajarkanku bahwa emosi itu hanya menghancurkan bukan menyelamatkan. Yang membuatku paham bahwa kejujuran nilai mati dalam sebuah hubungan.

Ini kutipan untuk kita
Yang tidak pernah diduga akan bertemu sebelumnya. Yang pernah mempunyai sebuah pembelajaran untuk pengalaman masa depan. Yang mempunyai rancangan impian yang tidak kecil dan sepele. Kita selalu berusaha untuk membahagiakan; meski emosi sempat memporak-porandakan. Kita pernah menghancurkan kepercayaan; sebelum akhirnya kita belajar saling menjaga. Menurutku masalalu bukan lagi menjadi sebuah persoalan, hanya saja sebagai bantu loncatan untuk pembentukan diri di masa yang akan datang.

Ini kutipan untuk mereka
Yang selalu menganggap kita sebelah mata. Yang selalu merasa argumen mereka adalah benar dan masuk akal. Yang dengan lancangnya berkata bahwa didalamnya tidak ada sebuah perjuangan. Itu kata mereka bukan menurut kita. Bagiku mereka seonggok audience  yang hanya mampu melihat kita lewat kejauhan; tidak secara dekat. Mereka hanya makhluk asing yang hanya mengetahui luarnya saja; tidak dengan prosesnya dan menurutku cukup tersenyum dan hiraukan saja.


Penilai terbaik itu Tuhan, bukan? Jika yang Maha Pencipta saja memberi kesempatan kita untuk terus bersatu, lalu apa haknya mereka?