Jumat, 28 Maret 2014

(still) missing you !

Di pertemuan kita yang terakhir, aku belum sempat meluapkan emosi yang sempat tertahan dalam satu bulan yang lalu. Aku yang masih terlalu dingin dan kamu yang sudah berusaha untuk mencair. Sebenarnya bertemu satu jam saja itu sudah cukup; melihat senyummu, menikmati pelukanmu, mendengar keluh kesahmu itu sudah lebih dari cukup. Meski pada kenyataannya aku merasa kamu semu, tapi kesemuan mu itu membuatku kekeuh untuk tetap menunggu.

Aku tau menunggu itu tidak mudah, tenang sayang; aku sudah mulai terbiasa. Kala kamu sibuk dengan tumpukan pekerjaanmu yang telah menjadi rutinitas itu, aku sudah terbiasa menunggu kamu disini hingga kesibukan itu tuntas. Kala kamu sibuk dengan kumpulan temanmu, aku sudah terbiasa menunggumu disini hingga waktumu bersama teman-temanmu itu selesai. Aku masih bukan menjadi siapa-siapa kamu dan bahkan mungkin bukan menjadi prioritasmu. Aku terlalu memikirkan bahagiamu hingga aku tidak tau sudah berapa coretan luka tergambar akibat kata-kata emosi yang ku baca lewat ponselku.

Saat tanggul airmata sudah hampir runtuh, aku selalu mencegah dengan semua kata-kata manismu yang tersimpan didalam galeri ponsel hasil screen capture ku. Dengan cara itu aku bisa mengingatmu dengan tersenyum, aku mengingatmu ketika kita tertawa bersama karena cerita konyol yang kita buat sendiri, aku mengingatmu ketika kita menjadi pusat perhatian orang lain kala dunia serasa hanya milik kita. Iya kita. Aku begitu bahagia ketika melihat orang lain begitu cemburu dengan kebersamaan kita, aku memiliki kamu yang tidak mereka miliki. Aku mempunyai kisah bersamamu yang tidak akan mereka punya.

Aku suka memandangi wajahmu di wallpaper ponselku, rasanya mungkin tidak akan sama jika aku memandang wajahmu secara langsung tanpa perantara. Beberapa tahun silam, kita suka ngobrol ditelepon hingga ketiduran dan tidak pernah bosan. Sekarang semua itu bukan rutinitas kita lagi, rasanya mungkin kesibukan saat ini sudah meluluhlantakkan tenaga kita setiap harinya. Rasanya aku ingin kamu tinggal dan jangan pergi lagi, tentu ingin. Tapi aku bisa apa jika malam sudah mulai larut dan jam sudah memintamu untuk pulang serta lelahmu yang menyuruh untuk segera beristirahat diperaduan. 

Untuk kamu yang selalu tidak suka jika dikatakan lelaki super sibuk. Aku paham, kau sangat sibuk dengan pekerjaanmu diluar sana. Tapi, pantaskah kau menumpahkan semua kekesalanmu padaku? aku juga sibuk dengan pekerjaanku. Sama seperti kamu. Lalu, apakah kita tidak lagi bisa bercanda tawa dengan keterbatasan waktu yang kita punya? Apakah kau tidak merindukan semua seperti dulu?

sadarkah kamu bahwa kita terlalu jauh? Kita terpisah ribuan kilometer dan bukan dengan waktu yang singkat. Berkali-kali ku ingatkan bahwa kita jauh. Mustahil bagiku untuk bisa memelukmu disaat kau kesal atau membujukmu disaat kau marah! Yang bisa ku lakukan hanya membujuk, membuat mu percaya dengan kata-kata dan kejujuran. Kau tau, aku bukan malaikat.

Kita yang berusaha melawan waktu demi mencapai garis akhir yang indah itu.  Hanya kita. Tolong bantu aku. Buang keegoisan kita ini, jangan biarkan keegoisan yang akhirnya menang dan menertawakan kebodohan kita.

Kamis, 20 Maret 2014

Sebenarnya


Sebenarnya kamu tidak perlu menghabiskan uang untukku, agar aku terlihat bahagia. Sebenarnya kamu tidak perlu mengajakku ke tempat mewah hanya untuk membuatku gembira. Dan sebenarnya kamu tidak perlu mengunjungiku setiap malam, setiap hari; agar aku terlihat senang. Aku tidak meminta uangmu, tidak meminta waktumu setiap jam dan tidak meminta kamu untuk membelikan barang barang kesukaanku. Cukup kunjungi aku satu hari dalam seminggu disini, iya disini tempatku melepas lelah dan asa.
 

Kita sudah pernah merasakan bagaimana bahagianya jika pertemuan selalu terjadi dua puluh empat jam sekali, sebelum akhirnya waktu dan kilometer jarak membuat kita bertemu dalam tujuh hari bahkan tiga puluh hari sekali. Cukup disampingmu saja; menikmati tawa, senyum, berbagi cerita dan menumpahkan kelelahan bersamamu. Itu sudah lebih dari cukup. Tidak perlu menjemputku dan berada diujung kantorku setiap sore, agar aku bahagia.  Sebenarnya aku tidak ingin apa-apa. Tidak ingin waktumu tersita hanya untukku. Cukup kamu mengunjungiku sesekali, agar aku tau bahwa kamu juga merindukanku. Bahwa kamu juga menginginkan kehadiranku.

Minggu, 02 Maret 2014

Ku simpan rindu dalam do'a

Detik ini bukan lagi waktu yang singkat untuk mempertanyakan, ‘sudah berapa lama kita bersama?’. Bukan saatnya lagi untuk bertanya, ‘apakah aku pantas berada disampingmu?’. Inilah saatnya dimana kita harus menentukan, jalan apa yang akan kita pilih untuk sebuah kebersamaan. Jalan apa yang dipersiapkan untuk menuju segalanya menjadi halal.

Semakin harinya rasa itu tumbuh dengan pesatnya, jantung sesak terdesak dengan rasa rindu. Aku tidak pernah bisa mengatakan hal cinta yang berlebihan kala kita bertemu dalam tatapan nyata. Bahkan dikala perdebatan mulai menyerang, aku tidak pernah bisa untuk menitikkan airmata barang setetes dihadapanmu. Aku simpan semuanya dalam diam, dikala kamu tersenyum; aku nikmati semua dalam rekaman memoryku. Aku tidak pernah tau sedang apa kamu disana, dengan siapa kamu bersama dan kesibukan apa yang selalu kamu lakukan. Aku tidak pernah tau kamu sedang bersama siapa ketika aku tidak berada disampingmu. Inginnya hati berkata rindu, tapi otak berkata jangan. Aku tidak butuh beberapa bulan tanpa pertemuan untuk merindukanmu, bahkan saat bersamamu saja rinduku belum hilang dan mungkin tidak akan pernah hilang. Jika saja aku punya kuasa untuk menahanmu disini ketika pertemuan itu ada, jika saja aku mampu mencegahmu untuk jangan pergi lagi. Aku akan lakukan sekuat yang aku mampu. Jika saja rasa rinduku sama dengan apa yang kamu rasakan, mungkin kamu tidak akan mau pergi secepatnya; ingin tinggal lebih lama. Sayangnya, ini hanya aku bukan kamu.

Dalam diam, ku nikmati sendiri rindu yang begitu menghujam. Begitu egois memang, tapi setidaknya kamu tidak perlu merasa bosan karena terus mendengar perkataan rinduku; yang mungkin akan kulontarkan setiap hari bahkan setiap berapa jam sekali. Selain rindu; ada rasa yang begitu dalam saat ini, rasa yang masih ku perjuangkan dan ku pertahankan hingga saat ini. Rasa yang sempat menjadi perbincangan orang-orang diluar sana, dan rasa yang sempat melumpuhkan kinerja logikaku. Ketika aku terlalu takut menuangkan segala rasa ini kepadamu, yang aku lakukan hanya menulis bait per bait melalui kata yang kutata dengan rapi. Ini salah satu alasan kenapa aku begitu suka dengan menulis, dengan ini aku bisa leluasa menuangkan segala rasa dan asa yang tak bisa terungkap lewat lisan. Ya, rasa itu ku sebut dengan cinta. Ada keinginan hati ketika aku ingin sekali berkata bahwa aku begitu menyayangimu, bukan hanya di beberapa moment saja tapi disetiap harinya. Namun aku terlalu takut jika kamu malah merasa risih dan bisa bisa pergi. Lalu kuputuskan untuk menikmati tumbuhnya rasa ini sendiri, ku balut dengan do’a berharap kamu selalu dalam penjagaan-Nya.

Tanpa pernah aku berfikir, apakah kamu akan melakukan hal yang sama atau tidak. Tanpa pernah aku berfikir, apakah kamu akan sama-sama menjaga atau tidak. Tanpa pernah aku berfikir, apakah aku masuk dalam daftar prioritasmu atau tidak. Itu kesalahanku. Aku terlalu terobsesi dengan kebahagiaanmu, aku terlalu terobsesi dengan segala masa depan yang ku rancang dengan sebegitu rapihnya. Tanpa sadar bisa jadi obsesi itu menjadi racun yang menikamku.

Aku memang begitu cemburu dengan orang diluar sana yang lebih bisa menikmati senyummu setiap harinya. Yang bisa menikmati gelak tawamu tanpa pernah terbentur waktu ataupun kondisi cuaca, tanpa pernah terjadwal kapan dan dimana semua itu bisa dinikmati. Mungkin kedengarannya konyol, bahkan mungkin kamu sedang berfikir ini terlalu berlebihan.
Contohnya seperti malam ini, aku yang mesti memotivasi diri agar kekuatan kembali seperti semula. Dalam lelah yang nyaris menuju puncaknya, aku rindu; rindu belaian lembut yang menandakan bahwa kamu memang benar nyata selalu ada disini. Malam yang semakin dingin dengan segala rindu yang terus mendarah daging. Andai rindu dengan mudahnya bisa terungkap tanpa ku ucap, andai rinduku bisa kamu rasakan tanpa harus kuperlihatkan. Sayangnya, mulutku tetap bergeming ketika rindu semakin hari semakin meninggi. Ditengah sepi yang menjadi teman akrabku, seringkali kebersamaan itu terlintas dan lamunanku semakin panjang tentangmu. Entah jarak kita yang semakin jauh atau waktu yang tidak mengizinkan kita untuk berjumpa. Ku tatap layar ponsel yang terpampang dengan wajah bersama senyummu, meski semu; meski tidak bisa aku raih.

Satu hal yang tidak pernah kamu tau, luka yang diakibatkan rindu ini akan terus aku simpan hingga nanti akhirnya kamu menjadi kekasih halalku; hingga nanti akhirnya Allah menunjukkan bahwa kamulah yang tercatat dalam lauhul mahfudzku. J

Untuk kamu yang selalu aku rindukan
~ Aktrides ’10 ~