Detik ini bukan lagi waktu yang singkat untuk
mempertanyakan, ‘sudah berapa lama kita bersama?’. Bukan saatnya lagi untuk
bertanya, ‘apakah aku pantas berada disampingmu?’. Inilah saatnya dimana kita
harus menentukan, jalan apa yang akan kita pilih untuk sebuah kebersamaan.
Jalan apa yang dipersiapkan untuk menuju segalanya menjadi halal.
Semakin harinya rasa itu tumbuh dengan
pesatnya, jantung sesak terdesak dengan rasa rindu. Aku tidak pernah bisa
mengatakan hal cinta yang berlebihan kala kita bertemu dalam tatapan nyata.
Bahkan dikala perdebatan mulai menyerang, aku tidak pernah bisa untuk
menitikkan airmata barang setetes dihadapanmu. Aku simpan semuanya dalam diam,
dikala kamu tersenyum; aku nikmati semua dalam rekaman memoryku. Aku tidak
pernah tau sedang apa kamu disana, dengan siapa kamu bersama dan kesibukan apa
yang selalu kamu lakukan. Aku tidak pernah tau kamu sedang bersama siapa ketika
aku tidak berada disampingmu. Inginnya hati berkata rindu, tapi otak berkata
jangan. Aku tidak butuh beberapa bulan tanpa pertemuan untuk merindukanmu,
bahkan saat bersamamu saja rinduku belum hilang dan mungkin tidak akan pernah
hilang. Jika saja aku punya kuasa untuk menahanmu disini ketika pertemuan itu
ada, jika saja aku mampu mencegahmu untuk jangan pergi lagi. Aku akan lakukan
sekuat yang aku mampu. Jika saja rasa rinduku sama dengan apa yang kamu
rasakan, mungkin kamu tidak akan mau pergi secepatnya; ingin tinggal lebih
lama. Sayangnya, ini hanya aku bukan kamu.
Dalam diam, ku nikmati sendiri rindu yang
begitu menghujam. Begitu egois memang, tapi setidaknya kamu tidak perlu merasa
bosan karena terus mendengar perkataan rinduku; yang mungkin akan kulontarkan
setiap hari bahkan setiap berapa jam sekali. Selain rindu; ada rasa yang begitu
dalam saat ini, rasa yang masih ku perjuangkan dan ku pertahankan hingga saat
ini. Rasa yang sempat menjadi perbincangan orang-orang diluar sana, dan rasa
yang sempat melumpuhkan kinerja logikaku. Ketika aku terlalu takut menuangkan
segala rasa ini kepadamu, yang aku lakukan hanya menulis bait per bait melalui
kata yang kutata dengan rapi. Ini salah satu alasan kenapa aku begitu suka
dengan menulis, dengan ini aku bisa leluasa menuangkan segala rasa dan asa yang
tak bisa terungkap lewat lisan. Ya, rasa itu ku sebut dengan cinta. Ada
keinginan hati ketika aku ingin sekali berkata bahwa aku begitu menyayangimu,
bukan hanya di beberapa moment saja tapi disetiap harinya. Namun aku terlalu
takut jika kamu malah merasa risih dan bisa bisa pergi. Lalu kuputuskan untuk
menikmati tumbuhnya rasa ini sendiri, ku balut dengan do’a berharap kamu selalu
dalam penjagaan-Nya.
Tanpa pernah aku berfikir, apakah kamu akan
melakukan hal yang sama atau tidak. Tanpa pernah aku berfikir, apakah kamu akan
sama-sama menjaga atau tidak. Tanpa pernah aku berfikir, apakah aku masuk dalam
daftar prioritasmu atau tidak. Itu kesalahanku. Aku terlalu terobsesi dengan
kebahagiaanmu, aku terlalu terobsesi dengan segala masa depan yang ku rancang dengan
sebegitu rapihnya. Tanpa sadar bisa jadi obsesi itu menjadi racun yang
menikamku.
Aku memang begitu cemburu dengan orang diluar
sana yang lebih bisa menikmati senyummu setiap harinya. Yang bisa menikmati
gelak tawamu tanpa pernah terbentur waktu ataupun kondisi cuaca, tanpa pernah
terjadwal kapan dan dimana semua itu bisa dinikmati. Mungkin kedengarannya
konyol, bahkan mungkin kamu sedang berfikir ini terlalu berlebihan.
Contohnya seperti malam ini, aku
yang mesti memotivasi diri agar kekuatan kembali seperti semula. Dalam lelah
yang nyaris menuju puncaknya, aku rindu; rindu belaian lembut yang menandakan
bahwa kamu memang benar nyata selalu ada disini. Malam yang
semakin dingin dengan segala rindu yang terus mendarah daging.
Andai rindu dengan mudahnya bisa terungkap tanpa ku ucap, andai rinduku bisa
kamu rasakan tanpa harus kuperlihatkan. Sayangnya, mulutku tetap bergeming
ketika rindu semakin hari semakin meninggi. Ditengah sepi yang menjadi teman
akrabku, seringkali kebersamaan itu terlintas dan lamunanku semakin panjang
tentangmu. Entah jarak kita yang semakin jauh atau waktu yang tidak mengizinkan
kita untuk berjumpa. Ku tatap layar ponsel yang terpampang dengan wajah bersama
senyummu, meski semu; meski tidak bisa aku raih.
Satu hal yang tidak pernah kamu tau, luka
yang diakibatkan rindu ini akan terus aku simpan hingga nanti akhirnya kamu
menjadi kekasih halalku; hingga nanti akhirnya Allah menunjukkan bahwa kamulah
yang tercatat dalam lauhul mahfudzku. J
Untuk kamu yang selalu aku
rindukan
~ Aktrides
’10 ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar