“kamu harus maklum. Dia masih usia mencari
identita. Cowok itu butuh waktu. Saat ini dunianya bukan cuma buat pacar. Tapi
ada orang tua, ada keluarga, ada pekerjaan, ada impian yang harus dikejar.
Kamu harus jadi cewek yang bisa menjadi
pendukungnya. Caranya adalah menjadi cewek yang bisa mengerti, memaklumi, memberi
‘porsi’ yang pas kapan untuk hadir buat dia dan kapan kamu harus memberi jarak.
Dukung dia kalo lagi nggak semangat, apakah saat pekerjaannya gagal atau apa.
Dukung dia dengan perhatian kamu. Dukung dia
dengan do’a kamu. Mungkin efeknya tidak akan langsung ke dia. Tapi dengan itu
dia akan sadar kalo kamu adalah perempuan yang bisa jadi tempat dia bersandar.
Disaat perempuan lain akan menyerah
mendampingi dia. Disaat perempuan lain hanya bisa ngambek karena tidak ditemani
setiap hari. Disaat perempuan lain hanya bisa menuntut, kamu satu-satunya
perempuan yang bisa memberi.
Jika dia lelaki baik-baik, dia akan bertahan;
memperjuangkan cita-citanya, bukan hanya untuk dia tapi juga untuk kamu.
Kesabaran kamulah yang menentukan apakah kamu
jadi bagian rencana masa depannya atau tidak.
Ini nasihat yang sangat menempel di kepalaku.
Dan sampai sekarang jadi pengingat aku untuk berusaha terus menjadi wanita yang
bisa diandalkan. Bukan penghambat masa depan.
Jadi, apakah kamu sudah pernah mencoba
menjadi perempuan itu?”
Kalimat ini betul-betul telah menampar saya. Pertanyaan
diakhir kalimat itu membawa saya ke peristiwa dimana kesalahan saya terulang
lagi. Saya terus menyadarkan diri, membukakan mata hati saya bahwa tidak
selamanya ketakutan saya terhadap hari esok itu selalu benar. Tidak pernah ada
kebenaran setelah kesalahan, jika tidak ada introspeksi diri. Tidak akan pernah
ada kebahagiaan setelah ujian, jika tidak ada perbaikan dari dalam hati. Sikap posesif
saya selama ini memang sudah sangat teramat salah, harusnya saya memahami jika
memang jodoh, cinta akan tetap bertahan. Jika memang ketulusan cinta itu
benar-benar ada, cinta akan tetap berkembang tanpa pernah dimakan usia, takkan
pernah luntur akibat rapuhnya keindahan fisik.
Sebagian besar dari mereka yang punya cinta
terlalu takut untuk memulai dari awal, inilah alasan kenapa mereka bertahan
dengan pilihannya; tak peduli sudah berapa banyak airmata yang tumpah. Airmata akan
terhapus jika ingatan-ingatan indah kebersamaan itu sudah lengket didalam sudut
otak dan terlukis dibilik-bilik hati. Jadi, bertahan dengan pilihan itu bukan
karena tidak ada yang suka apalagi bodoh. Semua berdasarkan alasan bukan? Seperti
halnya orang-orang selalu mempertanyakan bagaimana bisa aku sebegitu mencintai
kamu? Biarkan itu menjadi rahasiaku dengan Tuhan saja.
Aku hanya ingin menjadi satu-satunya wanita
yang mendampingimu di masa kini hingga masa depan. Menjadi satu-satunya wanita
yang berada satu shaf dibelakangmu, mengamini setiap do’amu, dan mencium
tanganmu selepas ibadah kita. Menjadi satu-satunya wanita yang akan menjadi
tempatmu pulang, melampiaskan lelah, penat dan berakhir didalam pelukan hangat.
Menjadi satu-satunya wanita yang akan selalu mendukung segala keputusanmu. Bukan
malah menjadi penghambat masa depanmu yang pada akhirnya hanya akan menjadi
bagian dari masa lalumu yang mau tidak mau harus kamu buang.
Saat ini, izinkan aku untuk membereskan hati
dan ikhlas untuk memperbaiki diri dari setiap perilaku. Bagiku saat ini
kenyamanan adalah hal terpenting, bagaimana caranya kita bisa memberikan
kenyamanan dan kehangatan satu sama lain tanpa harus ada yang mengemis dan
terluka. Walau ribuan kali hati menyuruhku khawatir dengan apa yang kamu
lakukan diluar sana, namun jutaan kali fikiranku menentang dan selalu
menyakinkan bahwa kamu akan selalu tetap menjaga. Meski aku tidak pernah tau
dengan cara apa kamu menjaganya. Kita punya Tuhan bukan? Tidak ada salahnya
jika aku menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Hatimu, sikapmu, pandanganmu,
keberadaan dan dengan siapa saja kamu disana. Aku bukan detektif dan bukan pula
wartawan yang setiap saat harus selalu menginterogasi, cukup kepercayaan yang
aku kembangkan. Tanpa sedikitpun memaksa waktumu terbuang hanya demi aku.
Kamu punya keluarga, teman-teman, pekerjaan,
bahkan cita-cita. Tugasku hanya mendampingi sampai kamu mencapai sisi puncak
keberhasilan, setelah itu kamu boleh memilih dengan siapa kamu akan menikmati
bahagianya kesuksesan itu. Biar itu menjadi rahasiamu dengan Tuhan saja.
Aku percaya, ketulusan cinta akan menemukan
jalan pulang untuk tempat tinggalnya. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar