Selasa, 24 Februari 2015

Suara angin


Tertanggal, 22 Februari 2015

Bersama suara angin dan deburan ombak di pagi ini, aku melantunkan namamu ke alam bebas. Semoga alam pun tau bahwa kita sekuat batu karang. Tak peduli seberapa sering ombal mencoba meruntuhkannya, batu karang akan tetap berdiri kokoh ditempatnya semula. Aku membisikkan rindu pada lambaian angin yang berkali-kali mensayup-sayupkan mataku, berharap bahwa angin akan menyampaikan nyanyian rinduku yang sudah terlalu lama terpendam ini. Ku lihat awan seakan tersenyum, seolah mengiyakan bahwa kisah kita ini tidak biasa.

Biar, biar pasir putih yang sedari tadi menjadi pijakanku di bumi, deburan ombak yang tidak pernah lelah menari-nari, hamparan laut yang tercium khas dengan baunya. Biar mereka yang menjadi saksi bahwa hanya namamu yang selalu aku bawa kemanapun. Rasanya aku tidak ingin pindah dari tempat ini, tak ingin pulang ke kediamanku di Jakarta. Tapi apa daya, aktivitas rutinku sudah menunggu setia disana. Meskipun sudah seringkali aku melihat keindahan laut, masih saja aku selalu takjub dengan keistimewaannya. Subhanallah.

Dengan perbatasan ait laut yang nampak tajam, dengan langit yang terlihat begitu bersahaja ditemani dengan pohon yang begitu setia menunggu tiupan angin. Aku begitu bersyukur karena sampai saat ini Tuhan masih memberikan kesempatan kepadaku untuk melihat hal semacam ini lagi. Kelak, aku tidak ingin datang ke tempat seindah ini sendiri. Aku ingin bersamamu. Menikmati udara laut, bisikan angin, deburan ombak. Hanya bersama kamu. Aku pun menceritakan harapanku ini kepada alam, berharap alam membantuku (lebih tepatnya kita) mewujudkan semua hal itu.

Ah, akan terlalu banyak jika ku ceritakan inginku disini. Aku yakin alam akan menjaga rahasia harapanku ini, dan biar alam yang menjadi saksi bahwa hanya namamu yang selalu dan akan selalu ku bawa dimanapun aku berada. Nama yang ku sebut bersama Tuhan, ibu, ayah, kakak, adik dan keluargaku. :)

Jumat, 20 Februari 2015

Ujian rindu


Tersadar bahwa aku sudah menyukai menulis sedari kecil, lebih suka menumpahkan segala rasa dan asa diatas kertas. Bedanya saat ini aku mengungkapkannya lewat tarian jemariku diatas keyboard dengan mengalunkan kata-kata yang ringan didengar dan nyata apa adanya. Saat tak ada yang mampu mengerti, saat tak ada yang mempunyai waktu luang. Aku menghabisi hari-hariku dengan menulis, tulisan yang bisa mengerti tanpa perlu banyak bicara; tulisan yang mampu memahami tanpa pernah membantah.

Tulisan ini bukan perkara agar dibaca siapa, agar semenarik apa dimata orang lain, agar dipuji sebagaimana. Bukan hal itu. Ini lebih dari nilai kenyamanan yang aku lukis disetiap tatanan kata yang berasal dari dalam hati. Meski sudah banyak kalimat-kalimat yang bertebaran diruang otakku, namun jemariku seakan kaku untuk menyusunnya.

Mungkin aku hanya wanita yang sok sibuk dengan segala aktivitasku, dengan waktu yang sangat minim dan bahkan tak pernah punya waktu untukmu. Aku hanya perempuan kuliahan yang sedang berusaha mati-matian mewujudkan segala cita-cita, membuat angan menjadi nyata. Kita sedang tidak berada di kota yang berseberangan, tapi kenapa kamu terasa sangat jauh dari pandangan. Bukan sedang berada di pulau seberang, tapi seakan kamu mustahil untuk digapai. Kita masih berada dalam satu kota, namun karena kesibukanku kita serasa berada di dua kota yang berbeda. Bahkan kita masih berada dalam satu provinsi yang sama, namun bayanganmu terlihat abu-abu.

Beruntungnya aku masih menyimpan semua hal tentang kita didalam galery ponselku, dengan begitu aku bisa memandang setiap guratan-guratan senyum diwajahmu walau memang tak dapat ku sentuh. Melihat wajahmu dalam bingkai foto pun tak apa bagiku, setidaknya aku masih merasakan bahwa kamu ada. Kadang rindu yang sudah terlalu menggunung hanya bisa diungkapkan lewat derai airmata yang seringkali jatuh dibalik layar. Diluar aku terlihat baik-baik saja, tapi tidak dengan hatiku. 

Aku ini hanya wanita yang tidak pandai memainkan kata didepan khalayak banyak, lebih memilih mengunci diri dan menikmatinya dengan bertemankan sebuah perangkat yang membuatku nyaman dalam bercerita. Aku tidak begitu paham, apakah hanya aku yang memiliki rindu itu atau tidak. Bahkan jika sekalipun kamu tidak merindukanku itu tak masalah, bukankah sesuatu yang tulus itu tidak mengharap balas? Sekalipun jika aku diminta untuk berharap, aku akan berfikir beribu kali. Karena apa? Karena aku tak ingin berharap diatas ketidakpastian yang bisa jadi melukai hatiku. Hati yang begitu aku jaga agar tidak berdarah dan rusak.

Mungkin Tuhan belum mengizinkan kita untuk bertemu. Entah untuk kurun waktu yang berapa lama; entah sebulan, dua bulan, tiga bulan bahkan setahun. Mungkin saja Tuhan sedang menguji kita, seberapa besar setianya kita agar bisa menjaga kerinduan ini. Mungkin saja Tuhan ingin melihat sejauh apa usaha kita untuk tetap menumbuhkan rasa yang hakiki tanpa harus bertatap muka. Mungkin saja Tuhan sedang menguji kejujuran hati kita dan melihat seberapa kuat pertahanan kita tanpa mencari sandaran lain.

Meski rindu seringkali membuat hati pilu, aku akan tetap percaya bahwa dalam pertemuan nanti akan menjadi pertemuan yang menyenangkan. Jikalau pertemuan itu malah menjadi hal yang menyesakkan dada, mungkin itu cara Tuhan memberitahu bahwa ada kecurangan yang terjadi disela-sela waktu saat kita jauh dalam pandangan mata. Bukankah semua hal terjadi karena adanya sebab akibat? Jika waktunya sudah tiba, semua menjadi hal yang tidak terelakkan.

Namamu sudah terpatri dalam setiap do’aku dan aku menitipkan kamu didalam pengawasan Tuhan. Tugasku disini hanya percaya dan tidak akan menyerah menjaga hati. Harapku, kamu pun melakukan hal yang sama. Jikalau tidak, itu bukan lagi menjadi urusanku. Biar itu menjadi urusanmu dengan Tuhan.

Bagiku, sekarang bukan lagi memperdebatkan siapa kamu; dari mana kamu; bagaimana latar belakang kamu; seberapa kelamnya masalalu kamu. Melainkan siapa yang mampu bertahan ditengah ujian yang ada, yang mampu setia menyimpan hanya satu nama saja, yang mampu menjaga hati tanpa melibatkan hati yang lain.

Senin, 02 Februari 2015

Seberapa lama pun waktu, belum bisa membuatku percaya bahwa kau sudah tak lagi disini…


Ayah…
Apa kabarmu disana?
Bahagiakah kau disana?
Rindukah kau disana?
Bagaimana keadaanmu disana?

Aku yakin bahwa kau bahagia disana
Aku percaya, Tuhan menempatkanmu di tempat terbaik-Nya
Sudah berapa lama kita tak berjumpa?
Sudah berapa hari kita tak bertegur sapa?

Selama ini aku masih mengingat setiap gerak gerikmu
Aku masih teringat suara motormu kala kau pulang
Masih jelas senyumanmu di ingatanku
Masih begitu terasa pelukan yang kau berikan dibeberapa tahun lalu

Ternyata waktu selama ini belum bisa membuatku percaya
Bahwa kau memang sudah tak lagi disini
Aku masih menganggap bahwa kau hanya pergi sementara
Dan akan kembali lagi ke pelukan keluarga yang begitu teramat mencintaimu

Tak ada sedikitpun airmata yang bisa ku tahan
Kala aku terus terbayang wajahmu yang menyejukkan
Meski aku sudah menyibukkan diri di siang hari
Tetap saja aku selalu merindukanmu kala malam sudah datang 

Nyatanya aku tidak sekuat itu, ayah…
Aku tidak sekuat seperti apa yang orang lain bilang
Sampai saat ini aku masih saja lemah
Lemah dan cengeng jika teringat semua hal tentangmu

Aku belajar ikhlas dari kepergianmu meski itu sangat sulit
Aku belajar berlapang dada untuk menerima takdir Tuhan
Ini tidak semudah ketika orang lain bilang “ikhlaskan saja”
Ini tidak segampang ketika orang lain berkata “dia sudah bahagia disana”

Jika aku bisa meminta banyak darimu
Tolong, ajarkan aku menjadi sosok sepertimu
Yang tahan banting atas segala terpaan yang begitu menyakitkan hati
Yang tetap berdiri gagah kala penilaian orang lain begitu menyayat relung hati

Yang tidak pernah mengeluh ketika cobaan terus datang silih berganti
Tanpa ada kata sebentar dan tunggu…
Yang tidak pernah lupa untuk tersenyum
Ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan yang dinanti

Tolong ajarkan aku, bagaimana menjadi wanita yang mandiri
Yang tidak selalu merepotkan dan menyusahkan orang lain
Yang tidak mudah menangis ketika semua terasa melelahkan
Yang tidak mudah menyerah untuk semua yang akan kuhadapi di masa depan nanti

Mungkinkah aku akan menemukan sosok sepertimu di pribadi lelaki yang akan menjadi imamku nanti, yah?
Yang begitu menyayangiku tanpa ada kata tapi dan mengharapkan timbale balik
Yang begitu menjagaku seperti kau menjagaku selama waktu kau hidup
Yang bersedia menerima segala kekuranganku tanpa pernah membenciku

Yang tak pernah menyakitiku…
Yang rela berpanas-panasan dan kehujanan untuk melakukan kewajibannya demi keluarga kecilku
Yang mau menghapus airmataku dan menenangkanku bahwa semua akan selalu baik-baik saja
Yang selalu mencintai aku melebihi mencintai dirinya sendiri

Datangi aku dan peluk aku didalam mimpiku, yah…
Karena sudah terlalu lama kau pergi
Sudah lama juga kamu tidak hadir di mimpiku
Karena hanya lewat mimpi, satu-satunya cara untuk mengurangi kerinduan yang begitu membuncah



Salam rindu,


Anakmu “Amy Yani”