Jumat, 18 Maret 2016

Sejujurnya…



Sejujurnya, aku benci dengan tipe wanita macam itu. Segampang itukah ingin merebut hati laki-laki yang jelas jelas sudah mempunyai kekasih? Apakah semurah itu derajat seorang wanita dengan mengejar-ngejar cinta seorang kaum adam dengan sebegitunya? Apakah sebuah keharusan atau sebuah kebanggaan jika berhasil merampas sesuatu yang jelas-jelas bukan miliknya? Aku wanita dan dirinya pun wanita, harusnya wanita itu paham bagaimana perasaan seorang wanita jika laki-lakinya terus digoda oleh wanita lain. Harusnya wanita itu mengerti bagaimana harus bersikap, bagaimana harus saling menjaga hati sesama perempuan. Sejujurnya aku ingin marah, namun apa hakku? Kembali lagi, aku harus menyadarkan diri bahwa melarang seseorang jatuh cinta itu bukanlah tugasku. Cinta itu anugerah dan bukan semata-mata kemauannya. Memang, memang semua itu benar adanya. Cinta itu rasa alami yang tumbuh dari relung hati, tetapi yang ku pertanyakan adalah; apakah sikap yang tetap ingin merebut hak orang lain juga sebagian dari takdir yang disebut anugerah juga? kurasa tidak, sama sekali tidak.

Itu hanya sebuah hawa nafsu, yang pada hakikatnya cinta itu bukan suatu paksaan. Dia datang dan mengalir begitu saja, semakin tenang jika dijaga dan akan semakin berontak ketika tidak diperlakukan dengan semestinya. Aku tidak bisa memaksakan segala kehendakku agar kamu selalu bersamaku, yang aku tau jika kamu sungguh-sungguh maka seribu wanita yang datangpun bukan suatu halangan bagimu untuk segera menghalalkanku. Aku hanya menganggap ini sebagai ujian diseperempat tahun kelima kita. Kekhawatiran itu masih ada, tapi aku lebih memilih untuk menyerahkannya kepada Tuhan saja. Penentangan dalam hati pasti ada, tapi aku masih percaya dengan kebaikan Tuhan yang takkan pernah mengecewakanku. Jadi, aku lebih memilih untuk tetap melangkah menatap masa depan dengan mata terbuka. Aku berhenti berkhayal dan lebih memilih menatap realita. Hidup semakin memberikan aku kesadaran bahwa cerita yang sedang ku perankan ini bukanlah cerita di negeri dongeng yang bisa kapan saja dapat diubah sesuai dengan kemauanku.

Terlebih soal kamu. Aku memelukmu setiap hari melalui do’a do’a yang selalu ku semogakan diakhir kalimatnya. Mungkin saja akan ada hal yang lebih menyebalkan dari sesuatu yang kamu ceritakan semalam, mungkin saja akan ada hal yang lebih menyakitkan nanti. Aku menerima semua kebarangkalian, dan aku selalu belajar untuk menyimpan rapat-rapat rasa khawatir dari kata “kebarangkalian” itu dengan fikiran yang baik-baik saja. 

Aku percaya bahwa kamu takkan pernah menghancurkan kepercayaan yang sudah kita bangun lebih dari 1800 hari ini, kalaupun harapanku ini sia-sia aku masih berhak bersyukur karena Tuhan telah memberitahu siapa dirimu dan seberapa besar cintamu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar