Rabu, 12 Juni 2013

Pertemuan

Dalam jangka waktu beberapa minggu pertemuan terus dihalangi oleh keangkuhan jarak, seakan jarak tidak mengizinkan untuk sebuah pertemuan terjadi dalam sapa renyahnya. Setiap malam selalu mendekap dalam dinginnya rindu menusuk rusuk, mengingatkan pada kisah kisah yang menjadikan sebuah tawa canda, lalu dituangkan dalam tulisan cerita nyata. Unik dan menyenangkan ketika kita mampu untuk mencurahkan segala rasa dalam sebuah lantunan kata kata, seakan bait bait menari dalam ruang otak dan meminta untuk dituliskan beserta dengan harmoni syairnya. Dalam rindu aku memeluk seorang terkasih dalam lengan do’a berharap jarak dapat tunduk dalam keangkuhannya, dan bersimpuh lutut membukakan jalan untuk sebuah pertemuan yang tertunda.
Akhirnya pertemuan itu terjadi, namun sebuah pertemuan terasa tidak spesial ketika cemburu lebih dulu membakar bara dalam diri. Sebuah keadaan hati yang sedang tidak baik, ketika perasaan sedang tidak tenang, dan dengan sikap seorang terkasih yang terlalu welcome membuat perasaan semakin tak menentu yang mengakibatkan wajah terlihat marah padam dalam senyum terpaksa. Dalam malam aku terasa sibuk membenahi kepingan hati yang mulai terjatuh dan hampir hancur, aku satukan kembali dengan kawanan hati hati yang lainnya agar kembali kokoh seperti semula. Namun dalam teriknya siang berkumpul dengan sejumlah orang orang disekelilingku, rasanya aku sibuk untuk menyembunyikan serpihan hati itu di pojok kanan hatiku dan sambil mengumpulkan ketegaran untuk berkata “ aku baik baik saja “ J ah diriku ini terlalu munafik sekali, namun memang itulah yang harus dilakukan agar mereka tidak melihat kerapuhanku. Iya ~~
Meski jarak selalu mengakibatkan luka didalamnya namun tak ada yang bisa menyalahkan jarak, karena jarak telah menemukan cinta dan tanpa jarak sebuah pertemuan tidak akan terjadi. Jika pertemuan telah terwujud wajarlah jika sebuah ketakutan itu terjadi untuk sebuah perpisahan, lalu siapa yang harus disalahkan? Jarakkah? Keadaankah? Atau perpisahankah? Tidak untuk semuanya, dalam kisah ini tidak ada yang perlu dipersalahkan. Yang hanya bisa meleburkan keangkuhan jarak adalah sebuah kesetiaan, kesetiaan untuk menjaga hati, kesetiaan untuk menunggu, kesetiaan untuk menjaga mata dan perilaku. Sebenarnya tak ada yang sulit dalam sebuah kesetiaan, kamu hanya perlu menyiapkan hati untuk terluka dan berbahagia pada akhirnya. Simple kan? Iya kamu harus siap terluka ketika lamanya menunggu, siap terluka ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan dan mimpi-mimpi. 
Dalam angkuhnya jarak aku belajar untuk sebuah kesabaran dalam pertemuan, aku belajar untuk sebuah penjagaan hati yang dinamakan kesetiaan, aku belajar mengobati sakitku sendiri karena rindu yang mendera. entahlah sudah berapa banyak kepingan kertas yang kulukis kata per kata dalam senandung syairnya tentang dirimu, sayang. aku merindukan suaramu diujung telpon sana seperti dulu kita saling sapa dalam lengah waktu, kita meneriakkan canda tawa dalam sejuknya malam, kita membuat iri daun daun yang berjauhan dengan kebersamaan kita. manis bukan? jarak bukan suatu halangan bagiku, karena bersama lengan do'a aku sampaikan tiupan rindu yang ku bisa pastikan selalu mengelilingi hari-harimu, bersama lengan do'a ku titipkan dirimu kepada Tuhan agar kamu senantiasa baik baik saja disana dan mungkin saja Tuhan bosan dengan semua do'aku tentangmu. iya ~~ dalam guratan senyumannya bulan dan bintang dimalam ini, aku terus menceritakan padanya tentang kebersamaan kita selama waktu ini. bagiku mencintaimu dalam diam itu mengasyikan, aku bisa menyimak segala ketakutanmu jika ku menghilang dan bagiku itu bukan sebuah kekhawatiran namun sebuah keharmonisan hubungan yang sederhana, dalam marahmu aku pun juga bisa melihat keromantisan. hanya satu pintaku untuk Tuhan saat ini, izinkan agar kita tetap menyatu hingga selama waktu dan dalam keabadian nanti. semoga ~~ :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar