Senin, 27 Januari 2014

Dari yang selalu menunggumu,

Sambil memandangi orang-orang yang terus berlalu lalang keluar masuk tempat kerja yang saat ini sedang ku geluti. Ditengah dendangan musik yang masih tersiar ditelinga, diantara kertas-kertas yang berserakan disampingku dan belum tau akan ku apakan. Aku membuka layar ponsel yang didalamnya ada pajangan gambar kita, bersanding berdua dengan senyum yang melukis bahagia. Sepertinya beberapa minggu ini kamu begitu sibuk dengan kilauan duniamu, aku yang asyik menunggu luangan waktu untuk menyapaku barang sekali. Memang beberapa minggu ini kita sudah jarang sekali untuk tertawa meski hanya sebatas dalam dunia maya, dan aku yang terkadang bersikap dingin tidak jarang membuatku berfikir ulang lagi; sikapku ini benar atau salah.

Dalam dentingan sepi, aku ditemani dengan malaikat-malaikat kecil yang begitu menyenangkan. Mereka salah satu alasan kenapa aku masih bertahan hingga saat ini, mereka yang berperan penting dalam melukis goresan senyum dan lekukan tawaku. Aku menunggu waktu penantianku bersama mereka, bersama keluarga yang terasa tidak utuh tanpa adanya ayah. Bersama seorang kakak yang telah begitu banyak mengajarkan kedisiplinan, kejujuran dan pengalaman hidup lainnya.

Semenjak tanpa adanya ayah, kami saling merangkul untuk tetap merasakan kebahagiaan yang sama. Hanya saja aku tidak bisa mengungkapkan rasa sayangku yang sesungguhnya terhadap mereka, bersikap dingin; acuh. Itu yang bisa kulakukan, meski hati tidak melakukan hal yang sama. Sebelum aku, sudah ada kakak yang merasakan pahit; manis dan getirnya sebuah cinta. Tawa, tangis yang disebabkan oleh cinta. Hingga saat ini pun aku masih terbilang bodoh, untuk memahami setiap topeng yang dapat berubah kapanpun dan dengan siapapun. Yang aku mengerti hanya bagaimana caranya tersenyum dan tidak menampakkan segala kesedihan yang begitu menyayat direlung hati terdalam. Yang aku mengerti hanya bagaimana caranya setia kepada seseorang yang aku cinta, caranya menjaga hati untuk seseorang yang berarti.

Ketulusan atau kepalsuan yang ku dapat? Aku belum memahaminya. Aku selalu percaya dengan semua janji yang terlontar dari bibirmu, yang aku paham betul bahwa itu hanya semu. Bodohnya aku masih berharap berlebihan, yang ku sadari itu hanya akan membawaku ke luka yang lebih dalam. Bagiku tidak ada alasan untuk tidak mencintaimu apalagi melukaimu, yang aku tau hanya terus besamamu saja; aku bahagia. Kamu bahagia bersamaku atau tidak, mana aku tau. Yang aku tau, aku berusaha menjadi yang terbaik meski memang aku tidak lebih sempurna seperti mereka yang kadang selalu kamu banggakan dihadapanku. Aku tidak lebih cantik seperti mereka yang sering kali kamu sanjung didepan mataku.

Pernahkah kamu melihat sedikit saja luka yang tergores, kala kamu terus membicarakan mereka dihadapanku? Kurasa tidak. Yang kamu tau hanya mengungkapkan semua yang kamu lihat dan kamu rasa, untuk hatiku; itu tidak begitu penting, bukan? Aku tidak tau pria macam apa yang kukasihi sebegini cintanya. Hingga aku rela berdarah-darah hanya agar kebahagiaanmu ada dan utuh. Tanpa pernah berfikir jika suatu saat nanti aku sudah tidak dibutuhkan, apakah aku akan terus kamu simpan atau malah kamu buang? Semua seakan buta dengan segala kepercayaanku yang semakin menebal bak benteng yang sulit untuk ku tepis. Aku tahan ego dan semua kecurigaan; kusembunyikan semua dibalik tangis yang tidak terdengar isakannya. Hanya agar semua yang kita jalani baik-baik saja, tanpa amarah tanpa keributan.

Aku mencintai segala kekuranganmu dan ku isi dengan semua kelebihanku, ku tutup hatiku dan ku jaga erat-erat agar tidak ada yang berusaha untuk mengusik. Jika kamu bersedia menua bersamaku, menggenggam kesetiaan dengan segala upaya yang sungguh-sungguh. Bisa ku pastikan bahwa aku akan ada selama yang kamu mau; lebih dari kata selamanya.
Tapi sayang, jika kamu tidak kunjung bersyukur telah memilikiku. Kamu tidak kunjung menghargai setiap detakan jantung yang ada untukmu, dan selalu mencari kesempurnaan dari cinta yang lain. Bisa ku pastikan juga bahwa kepergian lah yang akan menjadi pilihan terakhirku. Bagiku tak ada alasan untuk meninggalkanmu, kecuali jika kamu yang memintaku untuk pergi.


Dari yang selalu menunggumu,
Menunggu bahu yang siap untuk kusandarkan
Menunggu hati yang bersedia untuk ku abadikan didalam duniaku.

Minggu, 26 Januari 2014

Untuk rindu yang tidak pernah selesai

Ditengah hiruk pikuk tugas yang masih menjadi tumpukan-tumpukan kertas, ada kerinduan rasa yang begitu ingin ku torehkan lewat alunan-alunan jemariku. Ku biarkan kata per kata menari diatas background putih yang belum sedikitpun tergores oleh hiasan tinta.

Hari ini, memasuki akhir pekan ini. Ada candu ketraumaan yang datang dan terus menggelayut direlung hati bahkan isi fikiran. Sebelum ku menulis ini, air mata sudah lebih dulu begitu deras nyata dalam jeritan hati. Tanpa ada yang melihat apalagi mengerti. Ketakutan yang berhasil membuat malam-malamku terus menggigil; merindu dan terus menyebut namanya. Candu ketraumaan ini berhasil membuat ingatanku begitu pekat dan terus terulang dalam sebuah memory. Bergetar bibirku menahan semua jeritan yang seakan tertahan terlalu lama, meledak tangisanku ketika kerinduan begitu membuncah dan tak bisa terbendung lagi.

Sudah ku bilang, ketakutan ini begitu membuat sesak dan membuatku sulit untuk mengungkapkan. Satu persatu kalimat ku susun namun tak ada yang bisa menggambarkan, bahwa membuat orang lain mengerti saja aku tidak mampu. Entah aku harus mulai dari mana; dari atas, bawah, kiri, kanan. Entahlah; semuanya kosong.

Untuk rinduku yang tidak pernah selesai. Rindu kepada sosok lelaki gagah yang sewaktu dulu terus memelukku dalam penjagaannya. Sosok lelaki yang dikirimkan Tuhan untuk selalu mengawasiku sebelum akhirnya dia kembali kedalam pelukan Tuhan. Sosok lelaki yang begitu membuatku nyaman ketika aku berada didekatnya. Sosok lelaki yang begitu membuatku merasa bersyukur telah memilikinya. Sosok lelaki yang begitu tampan dengan segudang kewibawaannya. Sosok lelaki yang mengajarkanku bagaimana tersenyum dalam kekalutan. Sosok lelaki yang tidak pernah mengajarkanku bagaimana caranya menyerah.

Untuk rinduku yang tidak pernah selesai. Rindu kepada sosok lelaki yang selalu ingin kuimpikan disetiap penjagaan tidurku. Sosok lelaki yang mempunyai senyuman kedamaian. Sosok lelaki yang tidak pernah memberikan janji; dia akan membahagiakanku selama yang dia bisa. Sosok lelaki yang rela melawan terik matahari dan badai hujan, hanya agar aku dapat memiliki kehidupan yang layak. Sosok lelaki yang belum sempat ku bahagiakan dengan tanganku sendiri.

Untuk rinduku yang tidak akan pernah selesai. Apakah kamu begitu kecewa denganku? Sehingga kamu secepat itu meninggalkan tanpa pernah meminta izin sebelumnya. Apakah kamu begitu kecewa denganku? Sehingga untuk ku bahagiakan saja, kamu tidak punya sedikit waktu. Apakah kamu begitu kecewa denganku? Sehingga kamu tidak memberitahu, apa yang harus ku lakukan dimasa depanku nanti. Apakah kamu begitu kecewa denganku? Sehingga untuk selalu menemani setiap perjalananku saja, kamu tidak bisa. Kamu memilih untuk berada dalam pelukan Tuhan lebih dulu.

Untuk rinduku yang mesti kamu tau. Aku tumbuh melalui jemari-jemari kekarmu. Aku berkembang melalui nasihat-nasihat didikmu. Lalu saat ini aku menangis didalam bulir-bulir kenangan yang tidak akan pernah ada tempat pemusnahannya. Kamu meninggalkan dengan ribuan pertanyaan dan teka-teki, kebingungan tentang kehidupan yang sebenarnya; yang saat ini sedang kupijaki selangkah demi selangkah.

Ayah. Disini ku punya banyak teman, entah mereka begitu tulus atau sebaliknya. Namun hari ini aku mendapati orang-orang yang begitu menakutkan, membuatku takut dan candu dalam ketraumaan. Sewaktu dulu, kamu hanya mengajarkanku bagaimana bertingkah laku baik dengan siapapun. Tanpa pernah memandang bulu, pangkat, derajat bahkan kekayaan. Namun semua begitu berbeda ketika menemui orang-orang seperti mereka, mereka terlihat menakutkan; Ayah. Jika saja dulu ayah ceritakan apa sebenarnya hidup itu, mungkin aku akan lebih menjagamu agar lebih lama berada nyata disini.

Aku begitu banyak mempunyai cerita ayah. Kamu meninggalkan sebelum aku terbilang dewasa, hingga akhirnya mau tidak mau aku menjadi wanita yang sok mandiri. Untuk rindu yang tidak pernah selesai ini, kenapa begitu menyakitkan dan membuatku sulit bernafas?

Untuk rinduku yang tidak pernah selesai; Ayah. Kenapa kita tidak bersama lagi saja? Mengulang kehidupan yang sempat kita lewati karena terhalang jarak antara bumi dan syurga. Bodoh. Mengharap sesuatu yang kadar kemustahilannya sudah terlihat didepan mata.

Memang benar, terkadang rindu itu membuat seseorang kehilangan akal sehatnya. Ya, seperti tulisan ini misalnya. :’)

Kamis, 16 Januari 2014

Berdua pasti lebih baik

Rasa bosan dan kantuk mulai merasuki sel-sel seluruh organ tubuhku. Ditengah lembaran-lembaran kertas yang masih harus ku tuntaskan, ku bergegas sebentar menoleh ke layar putih yang belum ada noda tinta barang setitik. Aku mulai mengalirkan secercah inspirasi melalui tulisan ini, entah tulisan yang akan kamu baca kapan. 

Tiga hari yang lalu, aku luangkan waktu untuk menengokmu ke persinggahan yang sementara ini kamu tempati untuk melepas lelah. Persinggahan yang tidak mewah tapi tidak begitu kumuh juga; persinggahan yang sudah pernah ku pijaki sebelumnya. Dalam bencana yang begitu mendadak, tidak sedikit membuatku khawatir bahkan cemas. Apakah kamu baik-baik saja? Bagaimana dengan keadaan keluargamu disana? Bagaimana kehidupan kalian disana? Itu yang selalu menjadi pertanyaan dalam benakku.

Di hari pertama aku mencoba untuk terus menghubungimu tapi tidak kunjung berhasil. Operator selalu bilang bahwa nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Aku masih mencoba tenang meski keadaan hati berkata lain; lagi lagi aku mesti tersenyum dibalik segala kegelisahan yang terus menggelayut. Hingga pada akhirnya kabarmu muncul dalam deringan ponselku, ku buka dengan sigap lalu ku baca satu persatu kata yang tertata dengan rapi. Aku begitu merasakan sakit yang sama ketika kamu menceritakan semua keadaan yang terjadi disana, aku begitu terenyuh ketika lagi lagi kamu bilang bahwa kejadian ini sudah biasa bagimu. Bahkan untuk melakukan sesuatu saja aku tidak tau; yang aku ingin hanya melihat bahwa kamu tetap baik baik saja disana beserta mereka yang sudah kuanggap sebagai keluargaku juga.

Dihari kedua, aku memajukan langkahku untuk menghampirimu. Meski diperjalanan sempat ada ragu yang menghalangi tapi laju kendaraanku kian cepat ingin segera bertemu kamu. Dikerumunan orang-orang yang terlihat begitu lelah sudah berhasil ku lalui satu persatu, rasa gugup bukan kepalang terus menghujani perasaanku. Aku berhenti didepan bangunan yang ku fikir bisa lebih menenangkanku dari kegugupan dan menghindarkanku dari kerumunan orang yang secara sengaja memperhatikanku penuh selidik. Perlahan aku masuki sebuah ruangan yang tak begitu asing; disapa dengan sebuah keluarga yang masih mampu tersenyum. Hebat, bukan?

Sudah 15 menit yang lalu aku menunggu sosok lelaki yang selalu ingin kuketahui kabarnya, yang sering membuatku merasa jengkel karena ulahnya; dan kali ini juga berhasil membuatku khawatir sampai aku bisa tiba ditempat itu. Aku bahagia ketika lelaki itu sudah berada disampingku; melihatnya tersenyum sudah cukup menenangkan. Meski dengan wajah yang lesu bahkan tidak secerah biasanya; aku tidak mempersoalkan hal itu. Yang penting bisa duduk bersamanya saja, mendengar celotehnya, menikmati senyumnya dan melihat gelak tawanya. Aku sudah bahagia; meski senyumnya tidak setulus biasanya, setidaknya itu sudah cukup menunjukkan bahwa kamu lebih kuat dari sekedar yang kamu tau.

Menyatakan bahwa didekatku kamu tenang; jika boleh saat ini aku akan terus menemanimu hingga ujung waktu. Menyatakan bahwa kamu ingin aku terus bersamamu; jika bisa saat ini aku akan terus menyediakan bahuku nyata disamping kamu. Nyatanya aku sadar betul bahwa waktu belum bisa mengiyakan segala mauku dan maumu. Rasanya arah jarum jam ingin kuperlambat agar bisa lebih lama denganmu, jadi kamu tidak perlu takut untuk berjuang melawan ini sendirian.



Teruntuk kamu yang selalu menjadi perhatian seisi otakku,

Kelak Tuhan akan menciptakan waktu yang dimana aku dan kamu tidak akan pernah terpisah akibat bentangan jarak (lagi).

Waktu dimana Tuhan akan selalu mengizinkan kita untuk saling berpeluk hangat tanpa mengkhawatirkan seberapa pendeknya waktu mempertemukan kita.

Rabu, 08 Januari 2014

Tanpa alasan

Aku seperti kehilangan arah dan kehabisan cara bagaimana agar kamu bisa mengerti. Mengerti hal yang tidak biasa, memahami suatu hal yang telah kusimpan berminggu-minggu. Dalam sunyi yang terus menggerogoti dinginnya malamku, ku balut semua rasa dengan gelak tawa dan lukisan segaris senyum yang nampak disuasana wajah datarku. Dengan tatapan kosong yang masih menyimpan sebuah teka-teki, dalam lirikan-lirikan mata yang tidak tentu arah dan seakan berfikir hebat.

Kamu dimana? Saat ku betul-betul membutuhkan keyakinanmu bahwa aku adalah satu-satunya. Kamu sedang dimana? Ketika ku betul-betul membutuhkan keyakinanmu bahwa semua akan baik-baik saja. Kamu berada dimana? Saat ku sedang bertarung hebat melawan segala amarah yang tumpah dan airmata yang mengalir tanpa sebuah alasan.

Sudah ku bilang, aku ini bukan wanita yang pandai terbuka dengan semua ceritaku. Aku lebih memilih diam dan menyimpan semuanya rapat-rapat agar semua terlihat baik-baik saja; dengan begitu cukup aku saja yang terluka tidak dengan yang lain. Namun sekarang berbeda, aku belajar terbuka disetiap perjalananku denganmu, ku tamatkan setiap cerita-ceritaku dan berbagi duniaku yang pastinya denganmu. Aku tidak pernah mempermasalahkan sebanyak apa tawa yang kulontarkan ditengah-tengah percakapan kita, aku tidak pernah mempersalahkan seberapa banyak senyum yang ku torehkan ketika aku masih mampu menatap wajahmu. Menikmati senyummu, riang tawamu saja aku sudah bahagia; apalagi masih mampu duduk berdampingan denganmu. Aku tidak memerlukan liburan yang mewah, harta yang bergelimangan untuk bisa membuatku bahagia. Asal denganmu saja, semua terasa damai; kenyamanan yang tidak biasa.

Semua seakan terkikis karena salahku, disebabkan oleh perasaan yang sebenarnya tidak ku ketahui alasannya. Aku marah, cemburu, menangis tanpa bisa aku jelaskan mengenai hal itu. Perasaanku kacau, fikiranku tidak tentu arah, kaki tidak tau harus melangkah kemana, dilema aku dibuat oleh perasaan asing semacam ini. Marah dengan siapa akupun tidak tau; cemburu karena apa akupun tidak pernah tau, hingga pada akhirnya sungai kecil begitu saja terhempas dari peredarannya hingga membuat mataku sembap.

Bodoh. Aku menangisi perkara yang tidak aku ketahui apa alasannya bisa membuatku menangis. Perasaan asing yang terasa begitu mencabik, menusuk bahkan membuatku berdarah; luka yang tidak terlihat oleh kasat mata. Aku tidak mempermasalahkan baik atau buruknya hari-hari yang ku jalani selama bersamamu, asal berjalan disampingmu; itu merupakan hari terbaik bagiku. Untukmu? Aku tidak pernah tau. Penerimaan, ketulusan, kesetiaan dan keikhlasan menjadi pedoman yang terus kubawa agar kamu tetap menetap disini. Menjalani hari tanpa lelah dan menggenggam tanganku tanpa bosan.

Memang, dimusuhi karena perasaan yang tidak ada alasannya itu melelahkan. Mungkin saja saat ini kamu sedang merasakannya, bukan? Jika saja seorang pria mampu memahami setiap isi hati wanitanya, mengetahui tanpa harus diberitahu setiap keadaan hatinya, mungkin saja tidak akan pernah ada perdebatan dan kesalahpahaman. Dan jika saja seorang wanita tidak terlahir dengan segala rasa emosional yang lebih besar, mungkin pertengkaran bisa dihitung dengan jari. Tapi sayangnya itu hanya khayalku, kadar kemustahilannya terlalu tinggi hingga tak mampu aku raih.

Jika kamu masih mampu menetap disini, menjaga hati bersama dan menerima disetiap keadaan terlemahku. Tetap tinggallah. Aku memang bukan yang terbaik seperti mereka, tetapi aku akan selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk kamu. Dan jelas aku berbeda dengan mereka, dan bisa ku pastikan bahwa tidak akan pernah ada yang bisa sama sepertiku.