Kamis, 16 Januari 2014

Berdua pasti lebih baik

Rasa bosan dan kantuk mulai merasuki sel-sel seluruh organ tubuhku. Ditengah lembaran-lembaran kertas yang masih harus ku tuntaskan, ku bergegas sebentar menoleh ke layar putih yang belum ada noda tinta barang setitik. Aku mulai mengalirkan secercah inspirasi melalui tulisan ini, entah tulisan yang akan kamu baca kapan. 

Tiga hari yang lalu, aku luangkan waktu untuk menengokmu ke persinggahan yang sementara ini kamu tempati untuk melepas lelah. Persinggahan yang tidak mewah tapi tidak begitu kumuh juga; persinggahan yang sudah pernah ku pijaki sebelumnya. Dalam bencana yang begitu mendadak, tidak sedikit membuatku khawatir bahkan cemas. Apakah kamu baik-baik saja? Bagaimana dengan keadaan keluargamu disana? Bagaimana kehidupan kalian disana? Itu yang selalu menjadi pertanyaan dalam benakku.

Di hari pertama aku mencoba untuk terus menghubungimu tapi tidak kunjung berhasil. Operator selalu bilang bahwa nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Aku masih mencoba tenang meski keadaan hati berkata lain; lagi lagi aku mesti tersenyum dibalik segala kegelisahan yang terus menggelayut. Hingga pada akhirnya kabarmu muncul dalam deringan ponselku, ku buka dengan sigap lalu ku baca satu persatu kata yang tertata dengan rapi. Aku begitu merasakan sakit yang sama ketika kamu menceritakan semua keadaan yang terjadi disana, aku begitu terenyuh ketika lagi lagi kamu bilang bahwa kejadian ini sudah biasa bagimu. Bahkan untuk melakukan sesuatu saja aku tidak tau; yang aku ingin hanya melihat bahwa kamu tetap baik baik saja disana beserta mereka yang sudah kuanggap sebagai keluargaku juga.

Dihari kedua, aku memajukan langkahku untuk menghampirimu. Meski diperjalanan sempat ada ragu yang menghalangi tapi laju kendaraanku kian cepat ingin segera bertemu kamu. Dikerumunan orang-orang yang terlihat begitu lelah sudah berhasil ku lalui satu persatu, rasa gugup bukan kepalang terus menghujani perasaanku. Aku berhenti didepan bangunan yang ku fikir bisa lebih menenangkanku dari kegugupan dan menghindarkanku dari kerumunan orang yang secara sengaja memperhatikanku penuh selidik. Perlahan aku masuki sebuah ruangan yang tak begitu asing; disapa dengan sebuah keluarga yang masih mampu tersenyum. Hebat, bukan?

Sudah 15 menit yang lalu aku menunggu sosok lelaki yang selalu ingin kuketahui kabarnya, yang sering membuatku merasa jengkel karena ulahnya; dan kali ini juga berhasil membuatku khawatir sampai aku bisa tiba ditempat itu. Aku bahagia ketika lelaki itu sudah berada disampingku; melihatnya tersenyum sudah cukup menenangkan. Meski dengan wajah yang lesu bahkan tidak secerah biasanya; aku tidak mempersoalkan hal itu. Yang penting bisa duduk bersamanya saja, mendengar celotehnya, menikmati senyumnya dan melihat gelak tawanya. Aku sudah bahagia; meski senyumnya tidak setulus biasanya, setidaknya itu sudah cukup menunjukkan bahwa kamu lebih kuat dari sekedar yang kamu tau.

Menyatakan bahwa didekatku kamu tenang; jika boleh saat ini aku akan terus menemanimu hingga ujung waktu. Menyatakan bahwa kamu ingin aku terus bersamamu; jika bisa saat ini aku akan terus menyediakan bahuku nyata disamping kamu. Nyatanya aku sadar betul bahwa waktu belum bisa mengiyakan segala mauku dan maumu. Rasanya arah jarum jam ingin kuperlambat agar bisa lebih lama denganmu, jadi kamu tidak perlu takut untuk berjuang melawan ini sendirian.



Teruntuk kamu yang selalu menjadi perhatian seisi otakku,

Kelak Tuhan akan menciptakan waktu yang dimana aku dan kamu tidak akan pernah terpisah akibat bentangan jarak (lagi).

Waktu dimana Tuhan akan selalu mengizinkan kita untuk saling berpeluk hangat tanpa mengkhawatirkan seberapa pendeknya waktu mempertemukan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar