Rasa
bosan dan kantuk mulai merasuki sel-sel seluruh organ tubuhku. Ditengah lembaran-lembaran
kertas yang masih harus ku tuntaskan, ku bergegas sebentar menoleh ke layar
putih yang belum ada noda tinta barang setitik. Aku mulai mengalirkan secercah inspirasi
melalui tulisan ini, entah tulisan yang akan kamu baca kapan.
Tiga
hari yang lalu, aku luangkan waktu untuk menengokmu ke persinggahan yang
sementara ini kamu tempati untuk melepas lelah. Persinggahan yang tidak mewah
tapi tidak begitu kumuh juga; persinggahan yang sudah pernah ku pijaki
sebelumnya. Dalam bencana yang begitu mendadak, tidak sedikit membuatku
khawatir bahkan cemas. Apakah kamu
baik-baik saja? Bagaimana dengan keadaan keluargamu disana? Bagaimana kehidupan
kalian disana? Itu yang selalu menjadi pertanyaan dalam benakku.
Di
hari pertama aku mencoba untuk terus menghubungimu tapi tidak kunjung berhasil. Operator
selalu bilang bahwa nomor yang anda tuju
tidak dapat dihubungi. Aku masih mencoba tenang meski keadaan hati berkata
lain; lagi lagi aku mesti tersenyum dibalik segala kegelisahan yang terus
menggelayut. Hingga pada akhirnya kabarmu muncul dalam deringan ponselku, ku
buka dengan sigap lalu ku baca satu persatu kata yang tertata dengan rapi. Aku begitu
merasakan sakit yang sama ketika kamu menceritakan semua keadaan yang terjadi
disana, aku begitu terenyuh ketika lagi lagi kamu bilang bahwa kejadian ini sudah
biasa bagimu. Bahkan untuk melakukan sesuatu saja aku tidak tau; yang aku ingin
hanya melihat bahwa kamu tetap baik baik saja disana beserta mereka yang sudah
kuanggap sebagai keluargaku juga.
Dihari
kedua, aku memajukan langkahku untuk menghampirimu. Meski diperjalanan sempat
ada ragu yang menghalangi tapi laju kendaraanku kian cepat ingin segera bertemu
kamu. Dikerumunan orang-orang yang terlihat begitu lelah sudah berhasil ku
lalui satu persatu, rasa gugup bukan kepalang terus menghujani perasaanku. Aku berhenti
didepan bangunan yang ku fikir bisa lebih menenangkanku dari kegugupan dan
menghindarkanku dari kerumunan orang yang secara sengaja memperhatikanku penuh
selidik. Perlahan aku masuki sebuah ruangan yang tak begitu asing; disapa
dengan sebuah keluarga yang masih mampu tersenyum. Hebat, bukan?
Sudah
15 menit yang lalu aku menunggu sosok lelaki yang selalu ingin kuketahui
kabarnya, yang sering membuatku merasa jengkel karena ulahnya; dan kali ini juga
berhasil membuatku khawatir sampai aku bisa tiba ditempat itu. Aku bahagia
ketika lelaki itu sudah berada disampingku; melihatnya tersenyum sudah cukup
menenangkan. Meski dengan wajah yang lesu bahkan tidak secerah biasanya; aku
tidak mempersoalkan hal itu. Yang penting bisa duduk bersamanya saja, mendengar
celotehnya, menikmati senyumnya dan melihat gelak tawanya. Aku sudah bahagia;
meski senyumnya tidak setulus biasanya, setidaknya itu sudah cukup menunjukkan
bahwa kamu lebih kuat dari sekedar yang kamu tau.
Menyatakan
bahwa didekatku kamu tenang; jika boleh saat ini aku akan terus menemanimu
hingga ujung waktu. Menyatakan bahwa kamu ingin aku terus bersamamu; jika bisa
saat ini aku akan terus menyediakan bahuku nyata disamping kamu. Nyatanya aku
sadar betul bahwa waktu belum bisa mengiyakan segala mauku dan maumu. Rasanya arah
jarum jam ingin kuperlambat agar bisa lebih lama denganmu, jadi kamu tidak
perlu takut untuk berjuang melawan ini sendirian.
Teruntuk
kamu yang selalu menjadi perhatian seisi otakku,
Kelak
Tuhan akan menciptakan waktu yang dimana aku dan kamu tidak akan pernah
terpisah akibat bentangan jarak (lagi).
Waktu
dimana Tuhan akan selalu mengizinkan kita untuk saling berpeluk hangat tanpa
mengkhawatirkan seberapa pendeknya waktu mempertemukan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar