Minggu, 26 Januari 2014

Untuk rindu yang tidak pernah selesai

Ditengah hiruk pikuk tugas yang masih menjadi tumpukan-tumpukan kertas, ada kerinduan rasa yang begitu ingin ku torehkan lewat alunan-alunan jemariku. Ku biarkan kata per kata menari diatas background putih yang belum sedikitpun tergores oleh hiasan tinta.

Hari ini, memasuki akhir pekan ini. Ada candu ketraumaan yang datang dan terus menggelayut direlung hati bahkan isi fikiran. Sebelum ku menulis ini, air mata sudah lebih dulu begitu deras nyata dalam jeritan hati. Tanpa ada yang melihat apalagi mengerti. Ketakutan yang berhasil membuat malam-malamku terus menggigil; merindu dan terus menyebut namanya. Candu ketraumaan ini berhasil membuat ingatanku begitu pekat dan terus terulang dalam sebuah memory. Bergetar bibirku menahan semua jeritan yang seakan tertahan terlalu lama, meledak tangisanku ketika kerinduan begitu membuncah dan tak bisa terbendung lagi.

Sudah ku bilang, ketakutan ini begitu membuat sesak dan membuatku sulit untuk mengungkapkan. Satu persatu kalimat ku susun namun tak ada yang bisa menggambarkan, bahwa membuat orang lain mengerti saja aku tidak mampu. Entah aku harus mulai dari mana; dari atas, bawah, kiri, kanan. Entahlah; semuanya kosong.

Untuk rinduku yang tidak pernah selesai. Rindu kepada sosok lelaki gagah yang sewaktu dulu terus memelukku dalam penjagaannya. Sosok lelaki yang dikirimkan Tuhan untuk selalu mengawasiku sebelum akhirnya dia kembali kedalam pelukan Tuhan. Sosok lelaki yang begitu membuatku nyaman ketika aku berada didekatnya. Sosok lelaki yang begitu membuatku merasa bersyukur telah memilikinya. Sosok lelaki yang begitu tampan dengan segudang kewibawaannya. Sosok lelaki yang mengajarkanku bagaimana tersenyum dalam kekalutan. Sosok lelaki yang tidak pernah mengajarkanku bagaimana caranya menyerah.

Untuk rinduku yang tidak pernah selesai. Rindu kepada sosok lelaki yang selalu ingin kuimpikan disetiap penjagaan tidurku. Sosok lelaki yang mempunyai senyuman kedamaian. Sosok lelaki yang tidak pernah memberikan janji; dia akan membahagiakanku selama yang dia bisa. Sosok lelaki yang rela melawan terik matahari dan badai hujan, hanya agar aku dapat memiliki kehidupan yang layak. Sosok lelaki yang belum sempat ku bahagiakan dengan tanganku sendiri.

Untuk rinduku yang tidak akan pernah selesai. Apakah kamu begitu kecewa denganku? Sehingga kamu secepat itu meninggalkan tanpa pernah meminta izin sebelumnya. Apakah kamu begitu kecewa denganku? Sehingga untuk ku bahagiakan saja, kamu tidak punya sedikit waktu. Apakah kamu begitu kecewa denganku? Sehingga kamu tidak memberitahu, apa yang harus ku lakukan dimasa depanku nanti. Apakah kamu begitu kecewa denganku? Sehingga untuk selalu menemani setiap perjalananku saja, kamu tidak bisa. Kamu memilih untuk berada dalam pelukan Tuhan lebih dulu.

Untuk rinduku yang mesti kamu tau. Aku tumbuh melalui jemari-jemari kekarmu. Aku berkembang melalui nasihat-nasihat didikmu. Lalu saat ini aku menangis didalam bulir-bulir kenangan yang tidak akan pernah ada tempat pemusnahannya. Kamu meninggalkan dengan ribuan pertanyaan dan teka-teki, kebingungan tentang kehidupan yang sebenarnya; yang saat ini sedang kupijaki selangkah demi selangkah.

Ayah. Disini ku punya banyak teman, entah mereka begitu tulus atau sebaliknya. Namun hari ini aku mendapati orang-orang yang begitu menakutkan, membuatku takut dan candu dalam ketraumaan. Sewaktu dulu, kamu hanya mengajarkanku bagaimana bertingkah laku baik dengan siapapun. Tanpa pernah memandang bulu, pangkat, derajat bahkan kekayaan. Namun semua begitu berbeda ketika menemui orang-orang seperti mereka, mereka terlihat menakutkan; Ayah. Jika saja dulu ayah ceritakan apa sebenarnya hidup itu, mungkin aku akan lebih menjagamu agar lebih lama berada nyata disini.

Aku begitu banyak mempunyai cerita ayah. Kamu meninggalkan sebelum aku terbilang dewasa, hingga akhirnya mau tidak mau aku menjadi wanita yang sok mandiri. Untuk rindu yang tidak pernah selesai ini, kenapa begitu menyakitkan dan membuatku sulit bernafas?

Untuk rinduku yang tidak pernah selesai; Ayah. Kenapa kita tidak bersama lagi saja? Mengulang kehidupan yang sempat kita lewati karena terhalang jarak antara bumi dan syurga. Bodoh. Mengharap sesuatu yang kadar kemustahilannya sudah terlihat didepan mata.

Memang benar, terkadang rindu itu membuat seseorang kehilangan akal sehatnya. Ya, seperti tulisan ini misalnya. :’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar