Sabtu, 26 April 2014

Sweet Saturday

Kami berawal dari orang asing, tidak pernah bertemu apalagi mengenal. Saya masih dengan jalan cerita saya begitupun dengan kalian, yang saya tau Tuhan selalu punya rencana dibalik sebuah pertemuan yang mengikat dalam kebersamaan; mau suka ataupun duka. Saya pun tidak pernah mengkhawatirkan akan bertemu dengan siapa nanti, akan mengenal dengan siapa kelak. Gelak tawa yang selalu kami lakukan dalam satu hari seminggu, hiruk pikuk suasana kelas akan menjadi moment yang kami rindukan kelak. Bertemu tidak mungkin jika tidak berpisah, bukankah tidak ada yang abadi? Memang rasanya tidak adil ketika sudah mulai menyatu dengan kekompakan, baur menjadi satu dalam kebersamaan, mendarah daging dalam setiap cerita yang bisa saya tuliskan disini setiap seminggu sekali. Jika mengingat hari semakin cepat berlalu, pergantian bulan amat tidak bisa terelakkan. Jika sudah pada waktunya kita mesti memilih jalan masing-masing, kalian dengan jurusan perkuliahan kalian dan saya dengan jurusan perkuliahan saya. Tapi tujuan kami tetap sama, tetap merindukan moment dimana semua perjuangan terasa terbayar dengan hasil yang memuaskan. Ya, itu sama sama tujuan kami.

Tidak, kami bukannya berpisah, hanya saja untuk sementara waktu kami mesti lebih mengenal banyak orang baru lagi. Dan secara otomatis semua hal yang biasa kami lakukan; berjalan beriringan menuju kantin, melepaskan tawa ditengah keramaian mahasiswa banyak, memecah keheningan dengan kekonyolan, suasana kelas yang gaduh. Itu tidak ada lagi; dan hal yang sudah tiada itu akan menjadi sesuatu yang kami rindukan kelak. Mungkin ketika kami sudah menyandang gelar sarjana (Aamiin), satu hal yang saya tanamkan bahwa kalian bagian dari teman seperjuangan saya. Bersama kalian dan dengan bantuan kalian, saya tidak bisa apa-apa. Saya tidak bisa melakukan banyak hal untuk kalian, bahkan untuk hangout selepas kuliah bersama kalian saja saya hampir tidak pernah. Ya itu memang budaya saya, kebiasaan saya yang sudah mendarahdaging sejak kecil. Saya tidak tau apakah kalian merasakan hal yang sama atau tidak, setidaknya ketika kalian sudah memilih jalan untuk masa depan masing-masing, kalian bisa melihat tulisan ini agar kalian tetap ingat kami pernah ada mengisi hari dengan tawa dan cerita meski hanya satu hari dalam seminggu.

Ketika waktu memaksa kami berjalan masing-masing, hal yang perlu diingat bahwa kami akan sampai pada tujuan yang sama.


Satu kali dalam seminggu. Sabtu manis yang sering kami sebut “Sweet Saturday”...

Senin, 21 April 2014

40 bulan penuh cinta


Sekolah. Ini masa dimana aku bertemu kamu, tempat yang menjadi perantara semua rasa tumbuh tanpa permisi. Memang kita tidak langsung menjadi teman akrab, setidaknya mengenal satu kalimat namamu saja merupakan awal dimana Tuhan mengizinkan kita untuk saling mengenal lebih dari sekedar nama. Hari pertama dimana kelasku juga kelasmu, hari pertama dimana kita berada dalam satu ruangan yang gerak-geriknya terlihat oleh mata. Sebelumnya garisan dan lekukan wajahmu tidak pernah terlintas didalam fikiranku, tergambar saja tidak pernah. Satu tahun berjalan, kita masih seperti orang asing yang masih meraba siapa kamu dan siapa aku dan siapa kita. Kita yang masih sama-sama beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru, bersama teman baru yang belum bisa kita ketahui seperti apa karakternya. Satu tahun pertama terlihat jelas bahwa aku dan kamu masih mempunyai jalan cerita masing-masing, tanpa ada “KITA” didalamnya. 

Dua tahun berjalan kita mengenal, kamu masih dengan sikap bandelmu yang bisa dikatakan karena sekelompok pergaulan. Ingatkah kamu? Sewaktu itu pelajaran mungkin jadi hal yang membosankan hingga bolos menjadi pilihan terakhirmu, yang mau tidak mau; suka tidak suka kamu lakoni beberapa kali. Dalam kurun waktu yang bersamaan, perhatianku masih sebatas ambang wajar yang tidak lepas dari kepedulian seorang teman. Aku tidak pernah berfikir bagaimana jika akhirnya aku mencintaimu, aku tidak pernah berfikir bagaimana jika nantinya kamu yang menjadi salah satu dari segudang impianku. Sedikitpun aku tidak pernah berfikir sejauh itu. Hingga pada akhirnya semester ganjil di kelas akhir sekolah menengah kejuruan itu tiba, entah ada angin apa kita menjadi semakin dekat. Kamu yang tidak hanya dekat denganku, tetapi juga dekat dengan teman wanita yang lain. Kamu yang masih dengan sikap welcome-mu membuat teman wanita terlihat begitu akrab menggandengmu.

Entah ada rasa apa yang berdesir dihatiku, ketika kamu mendekat aku senang; ketika kamu menjauh dan memilih berbincang dengan teman wanita yang lain; aku benci. Aku belum menyadari rasa apa yang tumbuh tanpa alasan, rasa yang semakin aku abaikan semakin mengikatku dengan semua kebingungan. Berjalannya waktu aku mulai mengartikan itu sendiri, ini bukan perhatian biasa ketika kamu tidak kunjung terlihat dibarisan tempat duduk. Ini bukan rasa kepedulian biasa ketika tidak ada acungan tangan kala namamu dipanggil sesuai deretan absensi. Tapi aku bungkam ketika mulut ingin mencari tahu apa yang terjadi pada dirimu. Hatiku begitu menentang ketika tangan ingin tau kabarmu melalui media sosial. Ini bukan rasa yang biasa.

Rasa bahagia kala kamu mendekat, rasa berdebar kala kamu menyapa, rasa rindu kala kamu hilang dalam pandangan dan rasa benci kala kamu mulai mengabaikan. Rasa itu kunamakan dengan cinta. Aku tidak pernah tau sejak kapan cinta itu ada, sejak kapan cinta itu tumbuh, sejak kapan cinta itu mulai merasuki tubuhku dan mulai mendarah daging kedalam aliran darahku. Aku sempat mencintaimu secara diam, karena aku tau betul bahwa masih ada hal yang harus aku tuntaskan. Kala itu Ujian Nasional bak hantu yang begitu menghantui fikiranku, bukan hanya aku tapi kita semua. Ada keinginan hati untuk bisa meneriakkan lulus bersamamu walau dengan nilai yang tidak terbilang tinggi. 

Kita pernah melewati masa pendekatan, masa yang tidak mudah dan masa yang penuh dengan kesalahpahaman ketika itu. Aku yang mesti bersabar saat kamu terus menggandeng teman wanita dihadapanku, aku yang berkali-kali memalingkan wajah kala kamu terus merayu teman wanitamu. Bagiku itu tidak mudah sayang, tapi aku bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa; sehingga untuk melarangmu saja aku tidak punya hak.

Aku selalu tersenyum ketika mengingat kejadian-kejadian konyol kita sewaktu dulu, ketika kita memutuskan untuk membangun sebuah hubungan. Aku tidak pernah menyangka. Bulan bulan pertama kita menjalin hubungan bukan masa yang mudah, ketika kita harus jatuh bangun membangun sebuah pondasi agar terlihat kokoh dan indah. Penuh derai airmata ketika kita sama-sama meyakinkan bahwa perasaan ini tidak salah. Hanya terkadang sikap kita saja yang masih keliru, masih acuh dan membuat hati terluka karena sikap kita sendiri. Menggandeng orang lain yang jelas-jelas orang tersayang dekat dengan pandangan, merayu canda mereka yang jelas-jelas orang tersayang melihat dengan hati terluka. Ah kamu. Mungkin susunan kata-kataku belum terlalu bagus dan belum layak dinikmati oleh halayak banyak, tapi aku ingin kamu tau bahwa inilah yang ku lakukan disela kerinduanku. Aku tidak bisa berkata banyak, bagiku tulisan ini cukup untuk mewakili bahwa yang ada dihati tidak main-main.

Sekarang ini kita sudah tidak lagi duduk dibangku SMA, sudah bukan masanya lagi menghilang jika ada sebuah pertengkaran. 40 bulan sudah kita menghabiskan waktu untuk berbagi cerita, tawa bahkan tangis sekalipun. Itu bukan waktu yang singkat sayang, butuh perjuangan yang besar memang untuk mempertahankan hubungan yang sudah sebegini jauhnya. Sejauh ini aku amat sangat bahagia ketika Allah mengizinkanku untuk terus bisa bersamamu, melukis hari denganmu dan mengetahui segala kabar disetiap waktu. Aku pernah membaca sebuah kutipan “bahwa Allah menemukan kamu dengan orang yang tidak sempurna, agar kamu saling melengkapi. Karena kamu ku ciptakan juga dengan segala ketidaksempurnaan.” Ini kutipan yang sangat ku setujui bahwa tidak bisa setiap orang melihat dari segi kesempurnaan dan gelimangan materi, bukankah yang sempurna itu hanya Allah? Aku fikir, kita manusia yang amat sombong jika menyatakan bahwa kitalah makhluk yang paling sempurna.

Kamu tidak perlu menjadi orang lain yang berbeda hanya untuk membahagiakanku, tidak perlu terlalu banyak membuang uangmu hanya untuk menggembirakanku dan tidak perlu membawaku ketempat yang mewah hanya untuk menyenangkanku. Bukan, bukan itu yang aku minta. Dengan segala kesederhanaanmu, kejujuranmu dan kemampuanmu untuk tetap menjaga satu hati; itu sudah lebih dari cukup. Duduk berdampingan denganmu, berbagi cerita hingga gelak tawa hanya bersamamu; aku sudah bahagia. Memeluk erat kala kerinduan tak mampu lagi ku topang, menghapus airmata kala tangis tak bisa lagi aku pertahankan; aku nyaman. Meski kita terus menjadi perbincangan setiap orang, aku tidak peduli. Bahagia itu kita yang buat, bukan? Bahagia itu kita yang rasa bukan mereka, bahagia itu kita yang ciptakan bukan mereka. 

Setelah kepergian ayah 4tahun lalu, terkadang tubuhku lelah untuk terus berkata kuat dan mandiri. Bukan berarti aku menyerah; tidak. Hanya saja aku membutuhkan topangan bahu yang setia dan sedia saat sungai kecilku mulai membuncah hebat. Lelaki hebat yang aku percaya bisa menjaga itu kamu; kamu lelaki yang saat ini masih menjadi perbincangan dilintasan fikiranku. Lelaki yang begitu ku khawatirkan jika kabar tidak sampai dalam deringan ponselku, lelaki yang mampu membuat bibirku melukiskan senyum kala sedih tertahan ditenggorokan. Lelaki yang selalu ku ceritakan dalam obrolanku dengan Allah, lelaki yang selalu ku rindukan kala dingin mulai menggerogoti malam. Tidak jarang rindu berujung air mata, bayangan semu yang menggambarkan kebersamaan kita jelas terpampang diruang otak yang kian meluas.

Tulisanku kali ini murni untuk kamu, agar kamu tau bahwa rindu yang ada disini semakin meninggi bak menara. Saat ini kamu pasti sudah tau alasanku menyukai menulis itu karena apa? Yaa karena ini. Dengan menulis hal yang tidak dapat aku ungkapkan bisa tersalur melalui untaian kata yang memang belum terlalu indah untuk dibaca.

Untuk kita, aku akan belajar lebih giat untuk bisa menulis lebih baik. Agar salah satu cita-citaku menulis kisah tentang kita bisa terwujud, menulis kisah kita untuk ku ceritakan kembali kepada anak-anak kita kelak. “Bahwa cinta itu tidak peduli seberapa buruknya kamu, kapanpun akan selalu tetap menerima. Tidak hanya ingin bahagianya saja, dukanya pun akan dilalui bersama meski jarak selalu menjadi penghalang. Cinta itu bukan soal perbedaan, melainkan menyatukan benteng ketidakcocokan menjadi keserasian. Setinggi apapun amarah, tetap kasih sayang selalu dinomorsatukan dan dapat mengalahkan segudang keegoisan.” ~~

Untuk Kamu,
KC
Dari
AY

Senin, 14 April 2014

Segalanya bisa berubah!


everything can change. Satu yang tidak bisa berubah dialam semesta ini, yaitu perubahan itu sendiri. Yang hidup akan mati, yang bertemu akan berpisah, yang muda akan tua. Segalanya tidak ada yang abadi, hanya ada dua pilihan dalam perubahan; menjadi lebih baik atau malah lebih buruk dari sebelumnya. Banyak dari kita terkadang tidak bisa menerima perubahan itu sendiri; butuh waktu, butuh proses, butuh adaptasi. Semua tidak ada yang instan. Yang tersayang akan sangat bisa menjadi pengkhianat, teman sudah banyak yang menjadi musuh, dalam hitungan detik tawa bisa berubah menjadi tangis.

Segalanya ada timbal baliknya. Yang menyakiti akan disakiti, yang mengecewakan akan dikecewakan, yang sengaja merebut akan direbut. Banyak yang begitu bangga ketika telah melukai, tapi tidak sedikit juga mereka yang menyesal ketika luka itu kembali kedalam diri mereka yang telah melukai. Saat ini sudah tidak lagi harus menunggu bertahun-tahun untuk menyaksikan atau merasakan karma, hanya dalam hitungan bulan semua bisa saja terjadi atas seizin Tuhan. Banyak yang mati-matian bertahan, meski dalam hatinya hancur lebur. Banyak yang mati-matian tersenyum didepan halayak banyak; bahagia mengundang banyak tawa, tapi sebenarnya didalam kesendiriannya ia rapuh dan tidak bisa menahan satu tetes airmata saja. Ini bukan munafik, sayang. Sekarang coba fikirkan, jika ia menangis dihadapan orang banyak, apakah orang lain yang melihat akan mengerti? Apakah orang lain yang melihat akan bersedia meluangkan waktu untuk berbagi? Tidak, tidak sama sekali. Yang ada cemoohan, tawa penghinaan yang didapat. Bukankah yang mengerti hati hanya diri sendiri? Melepas penat, menangis dalam kesendirian. Tidak ada yang salah dari semua itu. Karena saya yakin dibalik semua tangis ada kekuatan yang tersembunyi, saya percaya hal itu.

Saya sudah banyak mendengar cerita banyak orang, dan baru kali ini saya disadarkan dari pengalaman seorang yang berada didekat saya. Bahwa apa yang mencintai kita dulu belum tentu akan selamanya tetap mencintai. Jika dulu ada yang sangat terobsesi untuk menjaga kita, belum tentu selamanya obsesi itu akan berlaku seterusnya. Bahwa memang mempertahankan lebih sulit dari pada mendapatkan. Jika dulu ketika mengenal seseorang ia begitu baik, begitu membuat kita melayang karena kasih sayangnya, belum tentu saat ini ia akan melakukan hal yang sama. Semua tidak lagi sama, telah berubah semaunya waktu. Harusnya sebelum perubahan itu ada, saya sudah harus mempersiapkan diri. Harusnya.

Detik ini saya sedang menikmati semua perubahan itu, beradaptasi dengan keadaan dan mulai bersahabat dengan waktu. Yang saya pahami saat ini adalah semakin hari kamu semakin semu, semakin hari jarakmu semakin jauh untuk saya raih dan semakin hari bayanganmu semakin menghilang dan memudar ditelan malam. Pengalaman itu juga mengajarkan saya satu hal; jika memang sudah berani berharap dengan seseorang maka harus mempersiapkan diri untuk kecewa lebih dalam. 

Terimakasih pengalaman… :)

Kamis, 10 April 2014

Mesti dengan cara apa lagi, Tuan?


Saya banyak mendapat pelajaran berharga dari pengalaman hidup orang lain. Pelajaran bahwa apa yang kita mau tidak selamanya harus terwujud, bahwa semua yang kita harapkan tidak selamanya bisa didapat. Awalnya saya tidak pernah menyesal jika harus bertumpu harap kepadamu, harapan yang semakin lebar dan terus mendarah daging disetiap aliran darah saya. Awalnya janji dan pertemuan yang terkadang kamu batalkan masih dapat saya toleransi dengan segala alasan yang kamu lontarkan. Saya tidak pernah berfikir, bagaimana nanti jika harapan saya itu benar benar kosong? Semakin hari kamu semakin berubah menjadi seorang yang tidak saya kenal, terasa semu untuk saya raih dan semakin jauh dari jangkauan saya.

Tiga tahun lebih sayang, tiga tahun saya abaikan cemoohan, cacian mereka yang tidak suka dengan hubungan kita. Saya terus meyakinkan mereka bahwa kamu layak untuk saya cintai, saya terus membanggakan kamu didepan mereka bahwa kamu lebih istimewa dari semua persepsi mereka. Kamu tidak tau dan tidak akan pernah tau, sudah seberapa jauh kita melangkah dan memperjuangkan ini hingga kita mampu sampai disini; tidakkah kamu ingat? Ah.. memang seharusnya saya tidak boleh memperhitungkan sudah seberapa jauh kita ada, tapi Tuan; tapi kamu yang memaksa saya untuk mengungkapkan ini agar kamu tau dan sadar bahwa mempertahankan tidak semudah seperti apa yang selalu kamu bicarakan.

Saya juga banyak belajar dari kamu. Bahwa ada yang lebih menyakitkan dari sebuah perpisahan, ingin pergi tapi terasa ditahan yang sebenarnya memang tidak diperjuangkan. Bahwa ada yang lebih berdarah dari sebuah luka, dicintai hanya ketika dibutuhkan dan dirindukan hanya disaat kesepian. Seperti halnya pada malam itu, ponsel saya berdering menuliskan namamu. Kamu menelpon; saya sangat bahagia. Segera saya menuju kamar setengah berlari, tak henti-hentinya saya tersenyum sembari mendengar ada ucapan lembut ketika kamu mengucapkan salam. Yang ada difikiran saya waktu itu, kamu menelpon karena rindu dan karena kamu ingin memperbaiki emosi kita yang sempat memanas diakhir minggu ini. Aku masih tidak bisa berhenti senyum kala itu, hingga akhirnya kamu menjelaskan apa maksud deringan ponsel yang datang dari kamu. Tidak lain kamu hanya membutuhkan pertolongan saya, bukan karena rindu atau apapun yang sudah saya fikirkan terlebih dulu. Saya bergeming, saya kehabisan kata pada saat itu; tidak sadar bahwa sudah ada air yang mengalir dipelipis mata saya. Saya tetap mendengarkan celoteh kamu yang setiap kalimatnya membuat air semakin deras turun, aku tidak tau hal semacam apa yang bisa membuat saya seberdarah ini. Saya terbangun dari lamunan saat hentakan suara itu memanggil dan meminta kesediaan saya, hanya satu kata yang bisa saya katakan; IYA. Setelah tanda persetujuan itu saya lontarkan kamu langsung menutup telepon tanpa ada basa-basi.

Lambat laun sikapmu semakin tidak bisa saya toleransi. Ketika saya butuh, kamu selalu hilang. Kamu datang dan pergi tanpa permisi; sesuka hati. Inikah seorang yang pantas saya perjuangkan hingga titik akhir? Jika iya, berikan saya alasan Tuan. Berikan saya alasan dengan cara apa saya bisa memperjuangkanmu lagi? Sabar yang seperti apa lagi yang bisa saya lakukan agar kamu tetap nyata disini? Sebenarnya saya ingin semua baik baik saja, tapi perubahanmu yang memaksa saya untuk berontak.

Saya mencoba mengerti ketika kamu pergi tanpa permisi, hilang tanpa kabar. Dan saya harap kamu mengerti jika sayapun pergi tanpa meninggalkan jejak. Mungkin dengan kehilangan kamu akan lebih mengerti, bahwa seharusnya kita terus bersama tanpa ada perpisahan didalamnya.

dari wanita yang selalu bisu jika dihadapanmu
yang dengan menulis semua terasa menenangkan...