Sekolah. Ini masa dimana aku
bertemu kamu, tempat yang menjadi perantara semua rasa tumbuh tanpa permisi.
Memang kita tidak langsung menjadi teman akrab, setidaknya mengenal satu
kalimat namamu saja merupakan awal dimana Tuhan mengizinkan kita untuk saling
mengenal lebih dari sekedar nama. Hari pertama dimana kelasku juga kelasmu,
hari pertama dimana kita berada dalam satu ruangan yang gerak-geriknya terlihat
oleh mata. Sebelumnya garisan dan lekukan wajahmu tidak pernah terlintas didalam
fikiranku, tergambar saja tidak pernah. Satu tahun berjalan, kita masih seperti
orang asing yang masih meraba siapa kamu dan siapa aku dan siapa kita. Kita
yang masih sama-sama beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru, bersama
teman baru yang belum bisa kita ketahui seperti apa karakternya. Satu tahun pertama
terlihat jelas bahwa aku dan kamu masih mempunyai jalan cerita masing-masing,
tanpa ada “KITA” didalamnya.
Dua tahun berjalan kita
mengenal, kamu masih dengan sikap bandelmu yang bisa dikatakan karena
sekelompok pergaulan. Ingatkah kamu? Sewaktu itu pelajaran mungkin jadi hal
yang membosankan hingga bolos menjadi pilihan terakhirmu, yang mau tidak mau;
suka tidak suka kamu lakoni beberapa kali. Dalam kurun waktu yang bersamaan,
perhatianku masih sebatas ambang wajar yang tidak lepas dari kepedulian seorang
teman. Aku tidak pernah berfikir bagaimana jika akhirnya aku mencintaimu, aku
tidak pernah berfikir bagaimana jika nantinya kamu yang menjadi salah satu dari
segudang impianku. Sedikitpun aku tidak pernah berfikir sejauh itu. Hingga pada
akhirnya semester ganjil di kelas akhir sekolah menengah kejuruan itu tiba,
entah ada angin apa kita menjadi semakin dekat. Kamu yang tidak hanya dekat
denganku, tetapi juga dekat dengan teman wanita yang lain. Kamu yang masih
dengan sikap welcome-mu membuat teman
wanita terlihat begitu akrab menggandengmu.
Entah ada rasa apa yang
berdesir dihatiku, ketika kamu mendekat aku senang; ketika kamu menjauh dan
memilih berbincang dengan teman wanita yang lain; aku benci. Aku belum
menyadari rasa apa yang tumbuh tanpa alasan, rasa yang semakin aku abaikan
semakin mengikatku dengan semua kebingungan. Berjalannya waktu aku mulai
mengartikan itu sendiri, ini bukan perhatian biasa ketika kamu tidak kunjung
terlihat dibarisan tempat duduk. Ini bukan rasa kepedulian biasa ketika tidak
ada acungan tangan kala namamu dipanggil sesuai deretan absensi. Tapi aku
bungkam ketika mulut ingin mencari tahu apa yang terjadi pada dirimu. Hatiku
begitu menentang ketika tangan ingin tau kabarmu melalui media sosial. Ini
bukan rasa yang biasa.
Rasa bahagia kala kamu
mendekat, rasa berdebar kala kamu menyapa, rasa rindu kala kamu hilang dalam
pandangan dan rasa benci kala kamu mulai mengabaikan. Rasa itu kunamakan dengan
cinta. Aku tidak pernah tau sejak kapan cinta itu ada, sejak kapan cinta itu tumbuh,
sejak kapan cinta itu mulai merasuki tubuhku dan mulai mendarah daging kedalam
aliran darahku. Aku sempat mencintaimu secara diam, karena aku tau betul bahwa
masih ada hal yang harus aku tuntaskan. Kala itu Ujian Nasional bak hantu yang
begitu menghantui fikiranku, bukan hanya aku tapi kita semua. Ada keinginan
hati untuk bisa meneriakkan lulus bersamamu walau dengan nilai yang tidak
terbilang tinggi.
Kita pernah melewati masa
pendekatan, masa yang tidak mudah dan masa yang penuh dengan kesalahpahaman
ketika itu. Aku yang mesti bersabar saat kamu terus menggandeng teman wanita
dihadapanku, aku yang berkali-kali memalingkan wajah kala kamu terus merayu
teman wanitamu. Bagiku itu tidak mudah sayang, tapi aku bukan siapa-siapa dan bukan
apa-apa; sehingga untuk melarangmu saja aku tidak punya hak.
Aku selalu tersenyum ketika
mengingat kejadian-kejadian konyol kita sewaktu dulu, ketika kita memutuskan
untuk membangun sebuah hubungan. Aku tidak pernah menyangka. Bulan bulan
pertama kita menjalin hubungan bukan masa yang mudah, ketika kita harus jatuh
bangun membangun sebuah pondasi agar terlihat kokoh dan indah. Penuh derai
airmata ketika kita sama-sama meyakinkan bahwa perasaan ini tidak salah. Hanya
terkadang sikap kita saja yang masih keliru, masih acuh dan membuat hati
terluka karena sikap kita sendiri. Menggandeng orang lain yang jelas-jelas
orang tersayang dekat dengan pandangan, merayu canda mereka yang jelas-jelas
orang tersayang melihat dengan hati terluka. Ah kamu. Mungkin susunan
kata-kataku belum terlalu bagus dan belum layak dinikmati oleh halayak banyak,
tapi aku ingin kamu tau bahwa inilah yang ku lakukan disela kerinduanku. Aku
tidak bisa berkata banyak, bagiku tulisan ini cukup untuk mewakili bahwa yang
ada dihati tidak main-main.
Sekarang ini kita sudah tidak
lagi duduk dibangku SMA, sudah bukan masanya lagi menghilang jika ada sebuah
pertengkaran. 40 bulan sudah kita menghabiskan waktu untuk berbagi cerita, tawa
bahkan tangis sekalipun. Itu bukan waktu yang singkat sayang, butuh perjuangan
yang besar memang untuk mempertahankan hubungan yang sudah sebegini jauhnya.
Sejauh ini aku amat sangat bahagia ketika Allah mengizinkanku untuk terus bisa
bersamamu, melukis hari denganmu dan mengetahui segala kabar disetiap waktu.
Aku pernah membaca sebuah kutipan “bahwa Allah menemukan kamu dengan orang yang
tidak sempurna, agar kamu saling melengkapi. Karena kamu ku ciptakan juga
dengan segala ketidaksempurnaan.” Ini kutipan yang sangat ku setujui bahwa tidak
bisa setiap orang melihat dari segi kesempurnaan dan gelimangan materi,
bukankah yang sempurna itu hanya Allah? Aku fikir, kita manusia yang amat
sombong jika menyatakan bahwa kitalah makhluk yang paling sempurna.
Kamu tidak perlu menjadi orang
lain yang berbeda hanya untuk membahagiakanku, tidak perlu terlalu banyak
membuang uangmu hanya untuk menggembirakanku dan tidak perlu membawaku ketempat
yang mewah hanya untuk menyenangkanku. Bukan, bukan itu yang aku minta. Dengan
segala kesederhanaanmu, kejujuranmu dan kemampuanmu untuk tetap menjaga satu
hati; itu sudah lebih dari cukup. Duduk berdampingan denganmu, berbagi cerita
hingga gelak tawa hanya bersamamu; aku sudah bahagia. Memeluk erat kala
kerinduan tak mampu lagi ku topang, menghapus airmata kala tangis tak bisa lagi
aku pertahankan; aku nyaman. Meski kita terus menjadi perbincangan setiap
orang, aku tidak peduli. Bahagia itu kita yang buat, bukan? Bahagia itu kita
yang rasa bukan mereka, bahagia itu kita yang ciptakan bukan mereka.
Setelah kepergian ayah 4tahun
lalu, terkadang tubuhku lelah untuk terus berkata kuat dan mandiri. Bukan
berarti aku menyerah; tidak. Hanya saja aku membutuhkan topangan bahu yang
setia dan sedia saat sungai kecilku mulai membuncah hebat. Lelaki hebat yang
aku percaya bisa menjaga itu kamu; kamu lelaki yang saat ini masih menjadi
perbincangan dilintasan fikiranku. Lelaki yang begitu ku khawatirkan jika kabar
tidak sampai dalam deringan ponselku, lelaki yang mampu membuat bibirku
melukiskan senyum kala sedih tertahan ditenggorokan. Lelaki yang selalu ku
ceritakan dalam obrolanku dengan Allah, lelaki yang selalu ku rindukan kala
dingin mulai menggerogoti malam. Tidak jarang rindu berujung air mata, bayangan
semu yang menggambarkan kebersamaan kita jelas terpampang diruang otak yang
kian meluas.
Tulisanku kali ini murni untuk
kamu, agar kamu tau bahwa rindu yang ada disini semakin meninggi bak menara.
Saat ini kamu pasti sudah tau alasanku menyukai menulis itu karena apa? Yaa
karena ini. Dengan menulis hal yang tidak dapat aku ungkapkan bisa tersalur
melalui untaian kata yang memang belum terlalu indah untuk dibaca.
Untuk kita, aku akan belajar
lebih giat untuk bisa menulis lebih baik. Agar salah satu cita-citaku menulis
kisah tentang kita bisa terwujud, menulis kisah kita untuk ku ceritakan kembali
kepada anak-anak kita kelak. “Bahwa cinta itu tidak peduli seberapa buruknya
kamu, kapanpun akan selalu tetap menerima. Tidak hanya ingin bahagianya saja,
dukanya pun akan dilalui bersama meski jarak selalu menjadi penghalang. Cinta
itu bukan soal perbedaan, melainkan menyatukan benteng ketidakcocokan menjadi
keserasian. Setinggi apapun amarah, tetap kasih sayang selalu dinomorsatukan
dan dapat mengalahkan segudang keegoisan.” ~~
Untuk Kamu,
KC
Dari
AY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar