Saya banyak mendapat pelajaran
berharga dari pengalaman hidup orang lain. Pelajaran bahwa apa yang kita mau
tidak selamanya harus terwujud, bahwa semua yang kita harapkan tidak selamanya
bisa didapat. Awalnya saya tidak pernah menyesal jika harus bertumpu harap
kepadamu, harapan yang semakin lebar dan terus mendarah daging disetiap aliran
darah saya. Awalnya janji dan pertemuan yang terkadang kamu batalkan masih
dapat saya toleransi dengan segala alasan yang kamu lontarkan. Saya tidak
pernah berfikir, bagaimana nanti jika harapan saya itu benar benar kosong? Semakin
hari kamu semakin berubah menjadi seorang yang tidak saya kenal, terasa semu
untuk saya raih dan semakin jauh dari jangkauan saya.
Tiga tahun lebih sayang, tiga
tahun saya abaikan cemoohan, cacian mereka yang tidak suka dengan hubungan
kita. Saya terus meyakinkan mereka bahwa kamu layak untuk saya cintai, saya
terus membanggakan kamu didepan mereka bahwa kamu lebih istimewa dari semua
persepsi mereka. Kamu tidak tau dan tidak akan pernah tau, sudah seberapa jauh kita
melangkah dan memperjuangkan ini hingga kita mampu sampai disini; tidakkah kamu
ingat? Ah.. memang seharusnya saya tidak boleh memperhitungkan sudah seberapa
jauh kita ada, tapi Tuan; tapi kamu yang memaksa saya untuk mengungkapkan ini
agar kamu tau dan sadar bahwa mempertahankan tidak semudah seperti apa yang selalu kamu bicarakan.
Saya juga banyak belajar dari
kamu. Bahwa ada yang lebih menyakitkan dari sebuah perpisahan, ingin pergi tapi
terasa ditahan yang sebenarnya memang tidak diperjuangkan. Bahwa ada yang lebih
berdarah dari sebuah luka, dicintai hanya ketika dibutuhkan dan dirindukan
hanya disaat kesepian. Seperti halnya pada malam itu, ponsel saya berdering menuliskan
namamu. Kamu menelpon; saya sangat bahagia. Segera saya menuju kamar setengah
berlari, tak henti-hentinya saya tersenyum sembari mendengar ada ucapan lembut ketika
kamu mengucapkan salam. Yang ada difikiran saya waktu itu, kamu menelpon karena
rindu dan karena kamu ingin memperbaiki emosi kita yang sempat memanas diakhir
minggu ini. Aku masih tidak bisa berhenti senyum kala itu, hingga akhirnya kamu
menjelaskan apa maksud deringan ponsel yang datang dari kamu. Tidak lain kamu
hanya membutuhkan pertolongan saya, bukan karena rindu atau apapun yang sudah
saya fikirkan terlebih dulu. Saya bergeming, saya kehabisan kata pada saat itu;
tidak sadar bahwa sudah ada air yang mengalir dipelipis mata saya. Saya tetap
mendengarkan celoteh kamu yang setiap kalimatnya membuat air semakin deras
turun, aku tidak tau hal semacam apa yang bisa membuat saya seberdarah ini. Saya
terbangun dari lamunan saat hentakan suara itu memanggil dan meminta kesediaan
saya, hanya satu kata yang bisa saya katakan; IYA. Setelah tanda persetujuan itu saya lontarkan kamu langsung
menutup telepon tanpa ada basa-basi.
Lambat laun sikapmu semakin tidak
bisa saya toleransi. Ketika saya butuh, kamu selalu hilang. Kamu datang dan
pergi tanpa permisi; sesuka hati. Inikah seorang yang pantas saya perjuangkan
hingga titik akhir? Jika iya, berikan saya alasan Tuan. Berikan saya alasan
dengan cara apa saya bisa memperjuangkanmu lagi? Sabar yang seperti apa lagi
yang bisa saya lakukan agar kamu tetap nyata disini? Sebenarnya saya ingin
semua baik baik saja, tapi perubahanmu yang memaksa saya untuk berontak.
Saya mencoba mengerti ketika kamu
pergi tanpa permisi, hilang tanpa kabar. Dan saya harap kamu mengerti jika
sayapun pergi tanpa meninggalkan jejak. Mungkin
dengan kehilangan kamu akan lebih mengerti, bahwa seharusnya kita terus bersama
tanpa ada perpisahan didalamnya.
dari wanita yang selalu bisu jika dihadapanmu
yang dengan menulis semua terasa menenangkan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar