Kamis, 10 April 2014

Mesti dengan cara apa lagi, Tuan?


Saya banyak mendapat pelajaran berharga dari pengalaman hidup orang lain. Pelajaran bahwa apa yang kita mau tidak selamanya harus terwujud, bahwa semua yang kita harapkan tidak selamanya bisa didapat. Awalnya saya tidak pernah menyesal jika harus bertumpu harap kepadamu, harapan yang semakin lebar dan terus mendarah daging disetiap aliran darah saya. Awalnya janji dan pertemuan yang terkadang kamu batalkan masih dapat saya toleransi dengan segala alasan yang kamu lontarkan. Saya tidak pernah berfikir, bagaimana nanti jika harapan saya itu benar benar kosong? Semakin hari kamu semakin berubah menjadi seorang yang tidak saya kenal, terasa semu untuk saya raih dan semakin jauh dari jangkauan saya.

Tiga tahun lebih sayang, tiga tahun saya abaikan cemoohan, cacian mereka yang tidak suka dengan hubungan kita. Saya terus meyakinkan mereka bahwa kamu layak untuk saya cintai, saya terus membanggakan kamu didepan mereka bahwa kamu lebih istimewa dari semua persepsi mereka. Kamu tidak tau dan tidak akan pernah tau, sudah seberapa jauh kita melangkah dan memperjuangkan ini hingga kita mampu sampai disini; tidakkah kamu ingat? Ah.. memang seharusnya saya tidak boleh memperhitungkan sudah seberapa jauh kita ada, tapi Tuan; tapi kamu yang memaksa saya untuk mengungkapkan ini agar kamu tau dan sadar bahwa mempertahankan tidak semudah seperti apa yang selalu kamu bicarakan.

Saya juga banyak belajar dari kamu. Bahwa ada yang lebih menyakitkan dari sebuah perpisahan, ingin pergi tapi terasa ditahan yang sebenarnya memang tidak diperjuangkan. Bahwa ada yang lebih berdarah dari sebuah luka, dicintai hanya ketika dibutuhkan dan dirindukan hanya disaat kesepian. Seperti halnya pada malam itu, ponsel saya berdering menuliskan namamu. Kamu menelpon; saya sangat bahagia. Segera saya menuju kamar setengah berlari, tak henti-hentinya saya tersenyum sembari mendengar ada ucapan lembut ketika kamu mengucapkan salam. Yang ada difikiran saya waktu itu, kamu menelpon karena rindu dan karena kamu ingin memperbaiki emosi kita yang sempat memanas diakhir minggu ini. Aku masih tidak bisa berhenti senyum kala itu, hingga akhirnya kamu menjelaskan apa maksud deringan ponsel yang datang dari kamu. Tidak lain kamu hanya membutuhkan pertolongan saya, bukan karena rindu atau apapun yang sudah saya fikirkan terlebih dulu. Saya bergeming, saya kehabisan kata pada saat itu; tidak sadar bahwa sudah ada air yang mengalir dipelipis mata saya. Saya tetap mendengarkan celoteh kamu yang setiap kalimatnya membuat air semakin deras turun, aku tidak tau hal semacam apa yang bisa membuat saya seberdarah ini. Saya terbangun dari lamunan saat hentakan suara itu memanggil dan meminta kesediaan saya, hanya satu kata yang bisa saya katakan; IYA. Setelah tanda persetujuan itu saya lontarkan kamu langsung menutup telepon tanpa ada basa-basi.

Lambat laun sikapmu semakin tidak bisa saya toleransi. Ketika saya butuh, kamu selalu hilang. Kamu datang dan pergi tanpa permisi; sesuka hati. Inikah seorang yang pantas saya perjuangkan hingga titik akhir? Jika iya, berikan saya alasan Tuan. Berikan saya alasan dengan cara apa saya bisa memperjuangkanmu lagi? Sabar yang seperti apa lagi yang bisa saya lakukan agar kamu tetap nyata disini? Sebenarnya saya ingin semua baik baik saja, tapi perubahanmu yang memaksa saya untuk berontak.

Saya mencoba mengerti ketika kamu pergi tanpa permisi, hilang tanpa kabar. Dan saya harap kamu mengerti jika sayapun pergi tanpa meninggalkan jejak. Mungkin dengan kehilangan kamu akan lebih mengerti, bahwa seharusnya kita terus bersama tanpa ada perpisahan didalamnya.

dari wanita yang selalu bisu jika dihadapanmu
yang dengan menulis semua terasa menenangkan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar