Selasa, 04 November 2014

Mungkin nanti setelah aku pergi


Aku selalu bertanya kepada mereka, bagaimana rasanya menjalin hubungan dengan pasangan yang lebih dewasa; bagaimana rasanya menjalin hubungan dengan pasangan yang usianya jauh dibawah kita; bagaimana rasanya menjalin hubungan dengan pasangan yang begitu rumit sikapnya. Aku selalu bertanya kepada mereka, bagaimana menghadapi sikap laki-laki yang ingin selalu benar. Aku selalu berkaca melalui mereka, apakah sikapku sudah benar atau masih ada yang harus diperbaiki. Aku selalu bertanya kepada mereka, bagaimana rasanya berpisah dengan orang yang dulu begitu kita cinta. Mungkin aku sudah terlalu banyak melontarkan pertanyaan-pertanyaan konyol kepada mereka, yang sebenarnya tujuan pertanyaan itu adalah kamu.

Awalnya aku begitu antusias mendengarkan rancangan kamu untuk masa depan kita. Tadinya aku begitu sumringah, melihat obsesi kamu agar ingin cepat-cepat mewujudkannya. Entah sudah berapa lama waktu yang kamu habiskan untuk berbicara tentang masa depan kita, selama itu juga aku terus mengamininya. Aku senang melihat obsesimu itu, karena dengan begitu aku semakin yakin untuk terus menjaga rasa yang sudah ku punya tanpa harus menodai. Mungkin kita bukan mereka, dibilang pasangan tapi tidak terlihat layaknya pasangan. Waktu bertemu kita begitu minim, waktu mengobrol kita begitu terjepit antara pekerjaan dan hobby. Bagiku itu bukan lagi masalah, selama kita masih punya hakikat baik untuk terus memelihara.
Berdiri sampai saat ini bukan perkara mudah, dan bertahan hingga detik ini bukan hanya perkara rasa nyaman yang ada. Saat aku merasa begitu lelah memperjuangkan, kamu selalu datang untuk mengingatkan. Saat ragaku sangat ingin menyerah, kamu selalu bilang “jangan”. Tapi rasanya itu dulu.
Sekarang, jiwamu memang masih ada tapi hatimu tidak lagi aku rasa. Ragamu masih bisa terlihat, tapi ketulusanmu masih terus menjadi pertimbangan. Semua terasa asing, seperti sendiri padahal ramai. Semua terasa berbeda, asing seperti awal pertemuan kita. Aku mencoba menghindar bukan karena tidak peduli, hanya saja aku lebih memilih untuk melindungi hati. Aku banyak diam bukan karena tidak mau tau, hanya saja tidak ingin membuat suasana semakin keruh. Mungkin sekarang kamu belum mengerti, tapi suatu saat nanti kamu akan tau bahwa wanita biasa ini tidak pernah berusaha mengabaikanmu bahkan dalam keadaan marah sekalipun. Dia memang diam tapi namamu tidak pernah berhenti dia ucapkan disela-sela pembicaraannya dengan Tuhan. Wanita yang kamu bilang sudah tidak peduli lagi dengan mu, hanya dia yang selalu menatap layar handphone berharap kamu menghubunginya.

Aku serahkan semua kepada waktu, biar waktu yang menyadarkan. Tapi aku tidak bisa menjamin seberapa lama aku bisa menunggumu. Mungkin saja ketika kamu sudah tersadar nanti, aku hanya ada didalam ingatanmu bukan lagi dihadapanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar