Aku selalu bertanya kepada
mereka, bagaimana rasanya menjalin hubungan dengan pasangan yang lebih dewasa;
bagaimana rasanya menjalin hubungan dengan pasangan yang usianya jauh dibawah
kita; bagaimana rasanya menjalin hubungan dengan pasangan yang begitu rumit
sikapnya. Aku selalu bertanya kepada mereka, bagaimana menghadapi sikap
laki-laki yang ingin selalu benar. Aku selalu berkaca melalui mereka, apakah
sikapku sudah benar atau masih ada yang harus diperbaiki. Aku selalu bertanya
kepada mereka, bagaimana rasanya berpisah dengan orang yang dulu begitu kita
cinta. Mungkin aku sudah terlalu banyak melontarkan pertanyaan-pertanyaan
konyol kepada mereka, yang sebenarnya tujuan pertanyaan itu adalah kamu.
Awalnya aku begitu antusias
mendengarkan rancangan kamu untuk masa depan kita. Tadinya aku begitu
sumringah, melihat obsesi kamu agar ingin cepat-cepat mewujudkannya. Entah sudah
berapa lama waktu yang kamu habiskan untuk berbicara tentang masa depan kita,
selama itu juga aku terus mengamininya. Aku senang melihat obsesimu itu, karena
dengan begitu aku semakin yakin untuk terus menjaga rasa yang sudah ku punya tanpa
harus menodai. Mungkin kita bukan mereka, dibilang pasangan tapi tidak terlihat
layaknya pasangan. Waktu bertemu kita begitu minim, waktu mengobrol kita begitu
terjepit antara pekerjaan dan hobby. Bagiku itu bukan lagi masalah, selama kita
masih punya hakikat baik untuk terus memelihara.
Berdiri sampai saat ini bukan
perkara mudah, dan bertahan hingga detik ini bukan hanya perkara rasa nyaman
yang ada. Saat aku merasa begitu lelah memperjuangkan, kamu selalu datang untuk
mengingatkan. Saat ragaku sangat ingin menyerah, kamu selalu bilang “jangan”. Tapi
rasanya itu dulu.
Sekarang, jiwamu memang masih ada
tapi hatimu tidak lagi aku rasa. Ragamu masih bisa terlihat, tapi ketulusanmu
masih terus menjadi pertimbangan. Semua terasa asing, seperti sendiri padahal
ramai. Semua terasa berbeda, asing seperti awal pertemuan kita. Aku mencoba
menghindar bukan karena tidak peduli, hanya saja aku lebih memilih untuk
melindungi hati. Aku banyak diam bukan karena tidak mau tau, hanya saja tidak
ingin membuat suasana semakin keruh. Mungkin sekarang kamu belum mengerti, tapi
suatu saat nanti kamu akan tau bahwa wanita biasa ini tidak pernah berusaha mengabaikanmu
bahkan dalam keadaan marah sekalipun. Dia memang diam tapi namamu tidak pernah berhenti
dia ucapkan disela-sela pembicaraannya dengan Tuhan. Wanita yang kamu bilang
sudah tidak peduli lagi dengan mu, hanya dia yang selalu menatap layar
handphone berharap kamu menghubunginya.
Aku serahkan semua kepada waktu,
biar waktu yang menyadarkan. Tapi aku tidak bisa menjamin seberapa lama aku
bisa menunggumu. Mungkin saja ketika kamu sudah tersadar nanti, aku hanya ada
didalam ingatanmu bukan lagi dihadapanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar