Rabu, 03 Desember 2014

Tahun ke-empat


Hari ini adalah tahun ke empat kita. Dimana sudah empat tahun bersama, meski belum menikmati hidup berdua setidaknya selama empat tahun ini kita selalu berbagi cerita.

Tahun pertama. Dari awal aku mengenal kamu, tidak pernah sedikitpun terbayang akan menjalin kasih dalam selang waktu selama ini denganmu. Membayangkan pertemuan kita saja enggan, apalagi mengkhayal tentang kebersamaan kita seperti ini. Kata orang ditahun pertama adalah tahun terberat, semua terbukti disela-sela perjalanan tahun pertama kita. Masih setengah hati. Sebelumnya aku hanya mengira bahwa selamanya kita akan berteman, setidaknya bersahabat. Iya, cinta kita tumbuh dari awal pertemanan yang terlalu singkat. Kamu merupakan anugerah Tuhan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.

Meski terpaan kencang terus menghantam, kita masih mampu melewati kita untuk di tahun kedua. Harapanku selalu sama, selalu ingin kita menjadi lebih baik. Inginku selalu sama, selalu ingin agar waktu cepat mempersatukan kita. Kemauanku selalu sama, selalu ingin agar kemarahan tidak lagi menjadi sahabat kita. Tahun kedua ini belum ada perubahan yang signifikan, nampaknya Tuhan masih terus menguji seberapa besar keinginan kita untuk saling memiliki. Nampaknya keadaan masih ingin terus melihat seberapa besar perjuangan yang kita punya. Kehilangan, airmata, keterpurukan kita rasakan pada tahun ini. Merasakan pahitnya rasa kehilangan dengan cara dipaksa, merasakan pahitnya kesepian ditengah rindu yang menggunung.

Tahun ketiga. Semua mulai lebih baik pada tahun ini. Mungkin saja Tuhan sudah membukakan fikiran kita, menyadarkan bahwa kita masih saling membutuhkan. Lebih baik bukan berarti tidak lepas dari sebuah masalah. Masalah itu selalu kuartikan sebagai cobaan, cobaan yang mendewasakan untuk sebuah pelajaran hidup yang seharusnya tidak terjadi beberapa kali. Kesibukan dalam pekerjaan, pendidikan membuat waktuku hampir habis dua puluh empat jam. Jika beberapa orang menanyakan hal yang sama, “kenapa aku masih bertahan pada orang yang sama?” jawabannya hanya ada dihati. Hati yang mendorongku untuk terus mempertahankan kamu, mempertahankan hubungan yang sudah jatuh bangun dan sempat berdarah-darah. Tapi dibalik itu tak ada sedikitpun rasa sesal yang timbul. Bahkan berfikir untuk benar-benar pergi pun tidak pernah. Jalan hidupku yang memilih kamu, dan biar takdirku yang menentukan. Meski aku tidak pernah tau aku ditakdirkan untuk dan dengan siapa. Tetapi aku percaya bahwa Tuhan selalu mendengar celotehku di sepanjang hari. Satu hal sederhana yang aku minta dari Tuhan adalah agar kelak kamu menjadi imam didepan shafku beribadah, dengan diamini anak-anak kita sebagai makmumnya.

Dan hari ini tepat di tahun keempat. Dan kamu masih menjadi pembicaraanku dengan Tuhan. Jika ditanya apakah aku bahagia, ya aku tentu sangat bahagia. Apalagi jika sekarang kamu sedang berada disampingku, membicarakan tentang kita sampai gelak tawa terdengar renyah. Dari beribu pijakan langkah yang sudah kita torehkan dibeberapa tahun ini, aku tidak pernah lelah untuk menyayangi dan tidak pernah bosan untuk berdo’a atas impian yang kita ikrarkan dibawah langit. Semoga kamupun seperti itu.

Aku memang tidak bisa menjanjikan kesempurnaan untuk kamu, aku hanya bisa menjanjikan akan selalu ada disampingmu; menemanimu sesulit apapun.

Untuk ke-empat kalinya aku katakan, “selamat tanggal 03 calon imamku. Tetap jaga dan pupuk terus rasa yang ada sekarang, syukuri apa yang sudah kita punya karena itu kunci kebahagiaan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar