Kamis, 27 Agustus 2015

Langkah yang kuat untuk berjalan lagi



aku tidak suka pada waktu.
ketika ia menyeret ragaku, memaksaku merasakan pedih yang menyakitkan.
aku dipaksa terluka.
aku diminta berhenti bergembira.

aku benci dengan air mataku.
ketika ia harus hadir bukan untuk alasan bahagia.
tetapi karena merasakan luka.

mungkin beginilah hidup.
penuh kejutan.
dan terkadang kita seperti ada dalam belenggu.
dibuat resah.
dibuat gelisah.

ada kalanya aku memaksakan diri.
aku menyenangkan pikiran.
kutelan semua air mata kepedihan.
untuk apa?
untuk paham.
jika hidup memang tak selalu persoalan kebahagiaan.
lebih dari itu.
hidup itu misteri.
ada kalanya kita harus terjebak dalam luka yang kita tidak ingini.
agar mengerti, jika hidup tak harus dijalani dengan semeresahkan ini.

namun setidaknya.
ada yang benar-benar mencintaiku dengan penuh ketulusan.
meski pun tak lain, adalah diriku sendiri.

(Instagram : tausiyahku_)
Ekspetasi yang terlalu tinggi
Harapan yang terlalu menggunung
Keinginan yang terlanjur melekat direlung
Pada waktunya harus ku tepis
Karena kenyataan yang tak sebanding

Aku benci
Ketika mataku tak henti mengeluarkan air
Membuat mataku sembap akibat kesal
Membuat dadaku sesak akibat mengingat

Aku mengasingkan diri disini
Untuk apa?
Untuk membuatku mengerti dan belajar
Bahwa setiap saat kamu bisa saja pergi

Aku merenungkan diri sendiri
Untuk apa?
Untuk melihat apakah aku masih pantas
Apakah kamu masih membutuhkan

Ujungnya dimana aku tidak pernah tau
Sekalipun dalam keadaan terburuk
Aku hanya meminta
Agar Tuhan menguatkan hati dan langkahku
Hati yang lapang untuk menerima
Dan langkah yang kuat untuk berjalan lagi…

(created : Amy Yani)

Kamis, 13 Agustus 2015

Berhenti berharap!

Sepanjang perjalanan ini kamu adalah harapanku. Ku gantungkan beberapa harapan yang tidak kecil, ku iyakan semua kata yang kamu rangkai dihadapanku. Ku rekam satu persatu kalimat didalam memory ingatanku. Begitu manis terdengar, membuatku tersenyum sendiri saat teringat. Tidak bertemu selama beberapa minggu adalah hal biasa bagiku, sangat biasa. Semakin kesini alasan pertemuan kita hanya jika ada moment saja, hanya jika ada acara saja, hanya jika ada yang dibutuhkan saja. Bukan bertemu dengan alasan ingin berbincang walau semenit saja. Memang tak ada siklus yang stabil, semua mengalami perubahan termasuk kita.


Awalnya aku belajar untuk lebih bersabar dengan jangka waktu pertemuan kita yang tidak intens, yang terbilang cukup lama. Meski awalnya penuh dengan sesak tapi sekarang aku bisa melewatinya dengan lapang dada. Kini tak ada lagi rengekan manja, amarah menjengkelkan yang kamu dengar ketika waktu belum mengizinkan kita untuk bertemu.


Sekarang, saat ini. Aku sedang belajar untuk berdiri sendiri, membangun jiwa yang mandiri, tidak ingin lagi merepotkan orang lain. Harusnya aku tidak pernah mengharapkan kedatanganmu saat aku sendiri, merasa kesakitan dan sangat butuh ditemani. Harusnya aku sadar diri bahwa kamu tidak akan pernah datang kesini. Jarak yang terlalu jauh dan situasi kota yang terlalu menjenuhkan serta membuat lelah. Rasanya sulit menjawab ketika orang lain mulai menanyakan kehadiranmu ditengah keadaan yang mana aku sangat membutuhkanmu. Aku ingin berlari dari kerumunan orang yang seakan semuanya memojokkanku dengan pertanyaan yang sama. Bisakah mereka mengerti perasaanku? Bahwa aku tidak ingin mendengar semua pertanyaan mereka, bahwa aku tidak ingin menjawab pertanyaan yang sama.


Aku memilih diam dalam keheninganku, yang kamu tau cukup aku baik-baik saja. Aku memilih menangis dalam sujud malamku menahan sakit yang tidak pernah kamu tau, cukup aku terlihat baik-baik saja didepanmu. Sok tegarnya kepribadianku membuatmu berfikir bahwa aku sudah mampu sendiri, menyembuhkan luka sendiri, menghapus air mata sendiri. Iya, itu memang betul. Aku kira aku sudah bisa melakukannya sendiri, tapi nyatanya masih ada satu rasa yang belum bisa ku kendalikan seorang diri. Yaitu harapan. Harapan kamu selalu berada disini saat aku membutuhkanmu, harapan kamu tau apa yang sedang aku rasakan, harapan kamu mampu memelukku untuk melawan rasa sakit ini. Nyatanya harapanku adalah kesalahan. Kamu tidak pernah datang. Teori hanya tetap menjadi teori tanpa ada yang terlaksana, kata menjadi busuk ketika hanya sebatas untaian percakapan klasik.


Tanpa sadar ada luka yang tergores dihati, kecewa yang berkepanjangan, tangis yang membuat mataku sembap. Luka, kecewa dan tangis itu adalah bagian dari hari kemarin. Hari dimana aku masih belajar untuk memaklumi keadaan bahwa kamu tidak pernah ada disini.


Terimakasih sudah membuat luka, kecewa dan tangis yang begitu sendu. Semoga ini adalah tetesan hujan kecil terakhirku, berhenti berharap mungkin satu-satunya cara agar luka ini mengering dan tidak lagi melebar. Perasaanku akan tetap sama seperti hari kemarin. Masih mencintai apa adanya kamu, mencintai setiap garis kekuranganmu.

Hanya bedanya aku akan memulai langkahku dengan tidak lagi mengharapkan apapun darimu.

Senin, 10 Agustus 2015

Hari kepergian


Beberapa tahun yang lalu, aku tidak pernah membayangkan apa jadinya jika aku ditinggalkan oleh orang yang begitu aku cintai. Sebelum hari duka itu datang, aku tidak pernah sedikitpun terfikirkan akan seberapa hancurnya kala aku ditinggal pergi. Tergambar didalam benakku pun tidak pernah sehingga aku tidak pernah menyiapkan diri untuk itu. Aku selalu sibuk dengan duniaku sendiri, aku terlalu asik bermain dengan kawanku tanpa menyadari waktu sudah semakin dekat dengan hari kepergian. Ketika rintihan sakit terdengar dan terasa disekujur tubuhnya, aku masih masih terlalu sibuk dengan urusanku yang tidak begitu penting itu. Aku hampir lupa bahwa dia sudah berada diambang nafas terakhir. Aku masih terus menghiasi hati dan fikiranku dengan kata “semua akan baik-baik saja”, bahkan di hari terakhir tak ada firasat apapun yang terbesit. Semua seakan sudah direncanakan Tuhan, sebelum hari kepergiannya aku masih diberikan kesempatan untuk membasuh tubuhnya dengan air hangat. Ku bersihkan keringat yang menempel ditubuh kurusnya, kubersihkan kedua kakinya yang terlihat tidak kotor. Semua seakan sudah direncanakan Tuhan, dimana saat itu adalah pertama kali aku membersihkan tubuhnya dan untuk yang terakhir kalinya juga aku melakukan hal itu.

Kediaman terasa sepi ketika salah satu orang yang ku cintai sudah berpulang ke Haribaan-Nya. Ku terus menguatkan hati meski pada awalnya hatiku remuk redam. Ku terus mantapkan hati untuk bangkit meski pada awalnya aku jatuh sejatuh-jatuhnya dan tak punya daya untuk berdiri. Aku kira aku tidak akan bertahan tapi nyatanya aku salah. Diriku tidak selemah seperti apa yang aku fikirkan. Hatiku tidak separah seperti apa yang aku prekdisikan. Ini hanya masalah waktu. Memang waktu yang membuat segalanya hancur lebur dan waktu jugalah yang membuat semuanya pulih kembali.
 
Lelaki yang ku cintai saat ini tidak akan pernah bisa mengganti posisinya dihatiku. Lelaki yang ku pertahankan mati-matian selama ini tidak akan pernah memudarkan cintaku kepadanya. Lelaki yang ku kasihi hingga detik ini tidak sama seperti dirinya. Sekalipun aku mencari sosok sepertinya, aku tidak akan pernah menemukan. Dia akan tetap menjadi dia, seorang kepala keluarga yang teramat aku cintai dan aku rindukan. Seorang laki-laki yang begitu tulus mencintai tanpa mengharapkan embel-embel.
 
Aku rindu dicari, aku rindu dikhawatiri, aku rindu pernyataan, “kamu kemana saja?”. Suara berat yang selalu memarahiku ketika aku telat pulang kini tak ada lagi. Deringan telepon dari suara yang khas kini tidak berbunyi lagi.
 
Selalu ingin melihat wajahnya adalah harapan yang sungguh membuat dadaku terasa sesak dan sulit bernafas. Hal yang begitu sulit ku lakukan adalah berharap. Padahal aku sudah sangat paham bahwa akhirannya hanya kosong dan hanya bisa menciptakan tetesan hujan kecil saja.
 
Dia adalah cinta pertamaku. Laki-laki pertama yang akan selalu mencintaiku tanpa pernah peduli bagaimana keadaanku. Laki-laki yang akan selalu menerimaku kapanpun aku kembali, dan yang setia menunggu tak peduli seberapa lamanya aku pergi.

Tak tau diri…


Sudah ditemani dari titik nol, sudah diberi kesempatan untuk membahagiakan, sudah disediakan tempat untuk luapan emosi, sudah didampingi dalam perjuangan berdua. Ketika sudah sukses, sudah bergelimang harta, sudah dibutakan oleh materi, sudah merasa memiliki segalanya laki-laki selalu lupa dimana tempat ia tinggal. Laki-laki suka lupa kemana dia harus pulang dan bernaung. Laki-laki sering lupa siapa yang menemani saat dunia mulai mengucilkannya , saat dia merasa asing. Dia merasa dengan kedua kakinyalah dia bisa berdiri menggapai bintang, dia merasa tak membutuhkan siapa-siapa untuk mencapai kesuksesan. Beberapa laki-laki suka lupa diri bahwa ada seorang wanita yang sudah menunggu di rumah, sedangkan dengan tidak tau dirinya dia malah menyepelekan dan bersenang-senang dengan dunia luar. Dia tidak memikirkan wanita yang sudah bersemangat menyiapkan makan malam agar bisa makan bersama seperti keadaan dimana dia belum mempunyai apa-apa. Dengan tidak tau dirinya, dia malah sengaja melupakan dan makan malam bersama dengan teman-temannya. Dia lupa ada wanita yang selalu menunggu kabar kepulangannya hingga terkantuk-kantuk, dan dengan tidak tau dirinya dia mengabaikan dan lebih mementingkan dunia gemerlapnya.

Hal yang harus selalu diingat, dimana ada kesuksesan laki-laki disitulah ada kehebatan wanitanya. Dan dibalik kelanggengan dalam kesuksesannya, ada do’a wanita yang selalu dimintanya disetiap sujud panjangnya.
Tetap mencintai wanitanya dalam keadaan gelimangan harta memang sulit, hanya seorang laki-laki tulus yang bisa melakukannya. Bukan sekedar kalimat I love you, aku cinta kamu atau kita akan selamanya. Biar perbuatan, kepercayaan hati dan ketulusan nurani yang berbicara. Memang wanita bukan mata-mata disetiap aktivitas laki-laki, cukup dengan kesetiaan dan kejujuran semua akan terjaga rapi. Berperilaku sewajarlah maka seorang wanita akan percaya dengan sendirinya. Jangan marah ketika wanita belum bisa percaya, berkacalah pada diri sendiri.

Kini aku bersedia menempati garis nol bersamamu, tanpa syarat tanpa tapi. Membangun segalanya bersama dari bahwa hingga menuju menara yang tinggi. Namun, sebelum menara itu dibangun. Tetapkanlah satu pilihan; akankah aku hanya kau jadikan teman dukamu saja atau kamu akan melibatkanku juga dalam kesuksesanmu nanti? Jangan pilih aku dari deretan list yang kamu punya. Aku tak ingin membuang waktu untuk seorang laki-laki yang hanya memanfaatkanku tanpa pernah menetapkanku pada tujuan akhirnya.

Aku bukan pilihan.

Perhatian


Aku bisa memendam cinta beberapa tahun lamanya, tapi hati tidak bisa memendam cemburu barang semenit saja. Mulutku bisa menahan tidak mengucapkan, “I love you” bahkan untuk sewindu lamanya, tapi wajahku tak bisa memakai topeng ‘tersenyum’ ketika datang kecewaku. Aku bisa menguatkan diriku dari banyak hantaman luka, tapi hati tidak bisa sedikitpun mengelak jika perasaan bilang ada yang tidak beres.
 
Bukan maksud hati tidak ingin memberitahu bahkan berbohong, aku hanya tidak ingin merusak moment bahagia yang sedang berjalan. Aku tau meski seribu kali aku mengatakan baik-baik saja, kamu akan tetap menyadari bahwa ada perihal yang berbeda dari keseharianku. Aku sedikit murung, tak lagi senyum, bahkan bicarapun sekadarnya saja.
 
Dengarkan. Aku wanita dan diapun seorang wanita. Aku tau rasanya diberi perhatian lebih pada seorang laki-laki meski itu hanya berstatus kawan, meski kamu selalu mengatakan bahwa itu hanya biasa saja bukan bentuk dari sebuah perhatian. Bagaimana mungkin aku tidak cemburu? Jika beberapa perhatian yang kamu lakukan padaku juga kamu lakukan pada orang lain. Hati wanita mana yang tidak bertanya-tanya? Ketika membaca percakapan singkat antara dua orang manusia yang saling memberi perhatian. Bagimu mungkin ini berlebihan dan hal sepele, tapi tidak bagiku.
 
Coba ingat-ingat lagi, bagaimana kita bisa mencapai pada tahap ini? Perjalanan yang sudah terjalin erat ini diawali dengan pertemanan dan berlanjut pada perhatian, bukan? Bagaimana mungkin wajahku bisa tersenyum bahagia sedangkan dalam hatiku gusar dengan seribu tanda tanya.
 
Menjaga perasaan pasangan yang jauh dimata mungkin perlu. Meski yang kamu lakukan terbilang biasa, belum tentu bagi orang lain adalah hal biasa. Cukup sikap manismu untuk satu wanita saja, bukan untuk setiap wanita. Rasanya tidak adil jika hanya dia yang serius menjaga perasaan, sedangkan kamu tidak.