Sepanjang perjalanan ini kamu
adalah harapanku. Ku gantungkan beberapa harapan yang tidak kecil, ku iyakan
semua kata yang kamu rangkai dihadapanku. Ku rekam satu persatu kalimat didalam
memory ingatanku. Begitu manis terdengar, membuatku tersenyum sendiri saat
teringat. Tidak bertemu selama beberapa minggu adalah hal biasa bagiku, sangat
biasa. Semakin kesini alasan pertemuan kita hanya jika ada moment saja, hanya
jika ada acara saja, hanya jika ada yang dibutuhkan saja. Bukan bertemu dengan
alasan ingin berbincang walau semenit saja. Memang tak ada siklus yang stabil,
semua mengalami perubahan termasuk kita.
Awalnya aku belajar untuk lebih
bersabar dengan jangka waktu pertemuan kita yang tidak intens, yang terbilang
cukup lama. Meski awalnya penuh dengan sesak tapi sekarang aku bisa melewatinya
dengan lapang dada. Kini tak ada lagi rengekan manja, amarah menjengkelkan yang
kamu dengar ketika waktu belum mengizinkan kita untuk bertemu.
Sekarang, saat ini. Aku sedang
belajar untuk berdiri sendiri, membangun jiwa yang mandiri, tidak ingin lagi
merepotkan orang lain. Harusnya aku tidak pernah mengharapkan kedatanganmu saat
aku sendiri, merasa kesakitan dan sangat butuh ditemani. Harusnya aku sadar
diri bahwa kamu tidak akan pernah datang kesini. Jarak yang terlalu jauh dan
situasi kota yang terlalu menjenuhkan serta membuat lelah. Rasanya sulit menjawab
ketika orang lain mulai menanyakan kehadiranmu ditengah keadaan yang mana aku
sangat membutuhkanmu. Aku ingin berlari dari kerumunan orang yang seakan
semuanya memojokkanku dengan pertanyaan yang sama. Bisakah mereka mengerti
perasaanku? Bahwa aku tidak ingin mendengar semua pertanyaan mereka, bahwa aku
tidak ingin menjawab pertanyaan yang sama.
Aku memilih diam dalam
keheninganku, yang kamu tau cukup aku baik-baik saja. Aku memilih menangis
dalam sujud malamku menahan sakit yang tidak pernah kamu tau, cukup aku
terlihat baik-baik saja didepanmu. Sok tegarnya kepribadianku membuatmu
berfikir bahwa aku sudah mampu sendiri, menyembuhkan luka sendiri, menghapus
air mata sendiri. Iya, itu memang betul. Aku kira aku sudah bisa melakukannya
sendiri, tapi nyatanya masih ada satu rasa yang belum bisa ku kendalikan
seorang diri. Yaitu harapan. Harapan kamu selalu berada disini saat aku
membutuhkanmu, harapan kamu tau apa yang sedang aku rasakan, harapan kamu mampu
memelukku untuk melawan rasa sakit ini. Nyatanya harapanku adalah kesalahan. Kamu
tidak pernah datang. Teori hanya tetap menjadi teori tanpa ada yang terlaksana,
kata menjadi busuk ketika hanya sebatas untaian percakapan klasik.
Tanpa sadar ada luka yang
tergores dihati, kecewa yang berkepanjangan, tangis yang membuat mataku sembap.
Luka, kecewa dan tangis itu adalah bagian dari hari kemarin. Hari dimana aku
masih belajar untuk memaklumi keadaan bahwa kamu tidak pernah ada disini.
Terimakasih sudah membuat luka,
kecewa dan tangis yang begitu sendu. Semoga ini adalah tetesan hujan kecil
terakhirku, berhenti berharap mungkin satu-satunya cara agar luka ini mengering
dan tidak lagi melebar. Perasaanku akan tetap sama seperti hari kemarin. Masih mencintai
apa adanya kamu, mencintai setiap garis kekuranganmu.
Hanya bedanya aku akan memulai
langkahku dengan tidak lagi mengharapkan apapun darimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar