Beberapa tahun yang lalu, aku
tidak pernah membayangkan apa jadinya jika aku ditinggalkan oleh orang yang
begitu aku cintai. Sebelum hari duka itu datang, aku tidak pernah sedikitpun
terfikirkan akan seberapa hancurnya kala aku ditinggal pergi. Tergambar didalam
benakku pun tidak pernah sehingga aku tidak pernah menyiapkan diri untuk itu.
Aku selalu sibuk dengan duniaku sendiri, aku terlalu asik bermain dengan
kawanku tanpa menyadari waktu sudah semakin dekat dengan hari kepergian. Ketika
rintihan sakit terdengar dan terasa disekujur tubuhnya, aku masih masih terlalu
sibuk dengan urusanku yang tidak begitu penting itu. Aku hampir lupa bahwa dia
sudah berada diambang nafas terakhir. Aku masih terus menghiasi hati dan
fikiranku dengan kata “semua akan
baik-baik saja”, bahkan di hari terakhir tak ada firasat apapun yang
terbesit. Semua seakan sudah direncanakan Tuhan, sebelum hari kepergiannya aku
masih diberikan kesempatan untuk membasuh tubuhnya dengan air hangat. Ku
bersihkan keringat yang menempel ditubuh kurusnya, kubersihkan kedua kakinya
yang terlihat tidak kotor. Semua seakan sudah direncanakan Tuhan, dimana saat
itu adalah pertama kali aku membersihkan tubuhnya dan untuk yang terakhir
kalinya juga aku melakukan hal itu.
Kediaman terasa sepi ketika salah
satu orang yang ku cintai sudah berpulang ke Haribaan-Nya. Ku terus menguatkan
hati meski pada awalnya hatiku remuk redam. Ku terus mantapkan hati untuk
bangkit meski pada awalnya aku jatuh sejatuh-jatuhnya dan tak punya daya untuk
berdiri. Aku kira aku tidak akan bertahan tapi nyatanya aku salah. Diriku tidak
selemah seperti apa yang aku fikirkan. Hatiku tidak separah seperti apa yang
aku prekdisikan. Ini hanya masalah waktu. Memang waktu yang membuat segalanya
hancur lebur dan waktu jugalah yang membuat semuanya pulih kembali.
Lelaki yang ku cintai saat ini
tidak akan pernah bisa mengganti posisinya dihatiku. Lelaki yang ku pertahankan
mati-matian selama ini tidak akan pernah memudarkan cintaku kepadanya. Lelaki
yang ku kasihi hingga detik ini tidak sama seperti dirinya. Sekalipun aku
mencari sosok sepertinya, aku tidak akan pernah menemukan. Dia akan tetap
menjadi dia, seorang kepala keluarga yang teramat aku cintai dan aku rindukan.
Seorang laki-laki yang begitu tulus mencintai tanpa mengharapkan embel-embel.
Aku rindu dicari, aku rindu
dikhawatiri, aku rindu pernyataan, “kamu kemana saja?”. Suara berat yang selalu
memarahiku ketika aku telat pulang kini tak ada lagi. Deringan telepon dari
suara yang khas kini tidak berbunyi lagi.
Selalu ingin melihat wajahnya
adalah harapan yang sungguh membuat dadaku terasa sesak dan sulit bernafas. Hal
yang begitu sulit ku lakukan adalah berharap. Padahal aku sudah sangat paham
bahwa akhirannya hanya kosong dan hanya bisa menciptakan tetesan hujan kecil
saja.
Dia adalah cinta pertamaku. Laki-laki
pertama yang akan selalu mencintaiku tanpa pernah peduli bagaimana keadaanku. Laki-laki
yang akan selalu menerimaku kapanpun aku kembali, dan yang setia menunggu tak
peduli seberapa lamanya aku pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar