Jumat, 27 Juni 2014

Katamu, "aku akan pulang secepatnya"


H-2  sebelum keberangkatan dinasmu keseberang pulau sana, aku masih berharap bahwa hari keberangkatanmu batal. Ah egois sekali ya. Meski pertemuan terakhir kita sangat singkat, tapi ketahuilah sayang; aku begitu larut dalam dekapan hangat dan aroma tubuhmu. Aku ingin terus seperti itu; memandang wajahmu lekat-lekat tanpa ada yang melarangnya, merasakan genggaman tanganmu erat-erat tanpa ada yang meminta untuk melepaskan. Seperti halnya kamu bilang bahwa kamu akan merindukanku. Seperti biasanya, meski serindu apapun, aku tidak pernah bisa menangis dihadapanmu meski hati berontak ingin bilang jangan pergi. “ini perjalanan dinasmu bukan perjalanan liburanmu” kalimat itu yang selalu berputar-putar diarea lintasan fikiranku, kalimat itu yang membantuku untuk mampu membiarkan kamu pergi sementara.

Dengan pertemuan kita yang bisa terhitung jemari, dengan kilometer jarak yang sudah terbiasa terlukis dalam cerita kita. Harusnya aku bisa saja merelakanmu pergi dengan mudah, harusnya. Tapi tidak untuk kali ini, sayang. Kepercayaan, kejujuran dan kesetiaan kita akan lebih diuji. Bagaimana kamu menjaga hatimu disana nanti dan bagaimana aku menjaga hatiku disini nanti; menjaga kita. Mungkin Tuhan menciptakan jarak yang lebih jauh ini agar kita bisa belajar lebih menghargai sebuah pertemuan; agar kita lebih paham apa sebenarnya perjuangan dalam kerinduan. Iya mungkin.

Aku baru saja bertemu denganmu dalam sebulan ini, tapi kamu mesti pergi lagi ke kota yang lebih jauh dari ini? Ah. Rasanya aku tidak ingin jam berlalu dengan cepat, rasanya aku tidak rela jika malam begitu kilat berubah menjadi pagi. Aku masih mau kamu disini, aku masih mau menikmati senyum dan gelak tawa kita. Aku masih ingin melihat wajah yang selama sebulan ini hanya bisa kutatap lewat layar ponsel. Aku masih sangat ingin berbincang banyak denganmu. Tapi kamu terus membuat pengertian bahwa kamu tetap harus pergi untuk bertugas. Katamu, kamu akan kembali secepatnya, kamu terus bilang bahwa aku harus baik-baik saja disini. Kamu terus bilang bahwa kita akan lebih sering berkomunikasi lewat telepon untuk membiaskan rasa rindu yang ada. Dan aku hanya bisa menjawab, “baiklah dengan senyum yang mengembang.

Hari ini kamu sedang melaju ke kota dimana kamu akan bertugas, entah untuk tinggal berapa lama disana. Dengan percakapan terakhir kita diujung telepon pagi ini, aku begitu lega mendengar suaramu yang sepertinya sangat baik-baik saja dan begitu sangat menikmati pemandangan yang terhampar dialam sana. Kamu tidak perlu meragukan seberapa lama aku bisa menunggumu disini; dikota asal kita. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan bagaimana jika aku merindukanmu. Aku akan baik baik saja disini, dan kamu harus baik baik saja disana. Jika kamu rindu, lihat wajah dan kebersamaan kita lewat galeri foto yang tersimpan diponselmu. Jika masih rindu, hubungi aku kapanpun kamu mau. Dan jika semakin rindu, cepatlah pulang! Aku disini dan akan selalu disini.

Aku tunggu kamu di Jakarta. :)

Kamis, 19 Juni 2014

Biar itu menjadi pilihanmu


“Perkara jujur atau tidaknya kamu itu urusanmu dengan Tuhan, tugasku disini hanya mempercayaimu. Biarkan nanti Tuhan yang akan menunjukkan, pantas atau tidaknya kamu untuk aku perjuangkan.”

Ini sepenggal kalimat pagi yang saya tulis disalah satu sosial media saya, kalimat yang entah mendapat inspirasi dari mana. Yang saya tau, saya ingin mempublishnya. Perkara ada yang tertohok dengan kalimat saya; itu urusan mereka, perkara ada yang mengira kalimat ini yang menjadi kegalauan saya; biar itu tetap menjadi persepsi mereka. Sebagian besar orang memang begitu bangga pada pilihannya diawal waktu, ketidaksetujuan orang terdekat seringkali tidak dipedulikan bahkan diabaikan begitu saja. Berfikir bahwa ketidaksetujuan mereka hanya merupakan salah satu ujian sebagai pemanis jalan cerita. Sebagian besar orang telah tertutup matanya bahkan ada yang sengaja menutup, agar mereka terlihat bahagia dengan pilihannya itu. Tanpa mereka sadari bahwa itu tidak akan berlangsung lama, lambat laun semua akan terlihat jelas mana yang pantas diperjuangkan dan mana yang patut dilepaskan.

Memakan berjuta janji di awal waktu memang begitu nikmat, apalagi sambil membayangkan bahwa semua janji itu akan menjadi nyata tepat pada waktu yang telah digariskan. Tapi sayangnya, semua akan kembali lagi pada kenyataan. Sekali dua kali janji itu menunjukkan keingkarannya, tidak sedikit mereka yang masih terus percaya bahwa janji lain akan tetap terwujud bahkan ada yang berfikir bahwa janji yang telah ingkar itu akan tercipta dilain waktu. Sampai akhirnya janji dan impian yang terancang hancur lebur, menguras bendungan air mata. Tapi sebagian mereka ada yang dengan penuh rasa optimis segera menyeka air matanya, dan tetap mengejar impian itu meski hanya berjuang sendirian; berjuang sendirian. Meski tertatih, terjatuh hingga bangkit; mereka hanya sendiri. Dan lihat, si pembuat janji itu bisa apa? Hanya duduk manis dan tidak merespon barang sedikitpun. Apakah itu yang disebut dengan saling mencintai?

Jika jawabannya YA, bodoh bukan? Yaa begitulah, hal semacam itu yang saya temukan. Memang terlanjur mencintai dan bodoh itu sangat tipis perbedaannya. Saya tidak bisa menyalahkan keadaan, saya tidak bisa mendakwa si pembuat janji, saya tidak bisa menunjukkan mereka yang punya cinta adalah salah. Semua mengalir begitu saja, rasa cinta yang ada muncul tanpa alasan. Karena sejak kapan cinta itu butuh alasan? Alasan fisik, itu akan memudar seiring menuanya usia. Alasan materi, itu akan habis seiring pertumbuhan inflasi yang kian tak terkontrol. Memang harusnya cinta itu tidak meminta balas, cinta ada untuk saling menyempurnakan kekurangan, cinta ada untuk saling menemani hingga Tuhan berkata waktunya pulang.

Waktu telah mengajarkan saya untuk tetap bertahan, waktu telah mengizinkan saya untuk belajar dari pengalaman hidup mereka. Mereka yang tegar meski dikhianati, mereka yang tersenyum meski disakiti, mereka yang masih mampu temukan bahagia meski berulang kali dikecewakan. Hal ini membukakan mata saya, bahwa saya tidak bisa hidup dengan janji yang tidak pasti. Saya tidak akan pernah merasa bahagia jika terus bergantung dengan si pembuat janji.

Bagi saya, janji akan tetap menjadi janji. Janji yang nyata adalah pembuktian. Dia yang pantas diperjuangkan dan pertahankan adalah dia yang mampu membuktikan janji; bukan yang hanya sekedar melukis luka.

Rabu, 18 Juni 2014

Aku bukan malaikat

Kita sungguh berbeda dengan mereka, aku pelajari perbedaan itu ketika aku memutuskan untuk memahami kamu lebih jauh dalam sebuah ikatan. Komitmen akan tetap menjadi komitmen, dengan didasari ketulusan dan perjuangan yang tidak mudah. Salah? Jika suatu hari saya begitu iri dengan kehangatan mereka yang bisa didapatkan dalam hitungan jam. Salah? Jika suatu saat saya begitu ingin seperti mereka, kamu datang ketika aku rindu; kamu ada ketika hati diambang kemarahan; kamu hadir ketika rasa cemburu menghantam tak terkendalikan. Aku bukan malaikat. 

Kamu bilang; amarah yang meledak-ledak itu sifatmu. Kamu bilang; perkataan ngawur yang selalu kamu lontarkan ditengah perdebatan kita merupakan salah satu karakteristikmu. Kamu bilang; aku bisa pergi jika aku tidak bisa menerimamu. Dengarkan ini ya, jika aku ingin pergi. Aku sudah pergi dari beberapa tahun yang lalu. Jika aku mau, aku sudah memutuskan untuk menutup hati dan menyembuhkan luka karena kamu. Tapi lihat; aku masih disini. Karena aku ingin menyadarkan bahwa didalam komitmen harus ada keikhlasan untuk menerima keburukan satu sama lain, karena didalam komitmen harus ada unsur untuk mengingatkan jika salah satu berbuat salah.

Aku mencoba menerima segala kelemahan dan menutupi dengan segudang kelebihan. Pertemuan kita yang bisa dihitung jari ini, seringkali membuatku bertanya; apakah aku ini hanya persinggahan atau pemberhentianmu? Apakah aku ini satu-satunya atau hanya menjadi salah satunya? Salah jika aku punya ketakutan seperti itu? aku tidak pernah tau dengan siapa saja kamu disana; sedang apa kamu dimana; apakah selama ini yang kamu katakan selalu benar atau hanya dusta yang ada. Hey, aku tidak pernah tau kebenaran semua itu. Memang, kamu benar bahwa unsur penting dalam sebuah komitmen adalah kepercayaan. Tapi aku bukan malaikat, sayang. Ada saatnya dimana aku merasa cemas dengan  kamu, ketika kecemasan itu ada bukan perdebatan yang aku ingin tapi keyakinan.

Pada akhirnya aku tidak ingin menyerah hanya karena kebodohanku, kamu yang aku pertahankan akan lepas karena ulahku. Kenapa kita tidak memutuskan untuk saling menerima saja? menerima segala kelemahan dan mengisi hingga menjadi kesempurnaan. Aku saja mencoba untuk menerima meski memang itu sulit, kenapa kamu tidak mencoba untuk menerima juga? tapi sayang, jika saat ini kebahagiaan kamu dan penerimaan kamu bukan ditujukan untuk aku. Aku akan pergi jika kamu yang meminta.

Hentikan drama konyol ini, aku ingin kembali ke alam nyata. Dimana kita masih baik-baik saja, dimana kita masih saling memperjuangkan.

Senin, 16 Juni 2014

Berhenti menyalahkan waktu!

Ketika hidup kamu tidak sesuai dengan apa yang di impikan, koreksi diri lagi. Mungkin saja ada usaha yang belum maksimal dan bahkan masih diragukan, sehingga Allah berkata “tunggu”. Jangan pernah berkata bahwa ini hanya masalah waktu, karena waktu akan mengizinkan semua terjadi jika kamulah yang mengizinkan. Waktu akan terus berjalan lurus kedepan, dan kamulah yang harus menjadi pengemudinya. Menghentikan atau melanjutkan hidup yang menurut kamu itu baik, yang menurut kamu itu buruk. Seperti halnya luka. Saya sering mendengar kutipan, “biar waktu yang menyembuhkan luka”. Luka akan tetap ada dan semakin terasa jika hati mengizinkan, dan luka akan sembuh jika kamulah yang mengizinkan pula. Jangan pernah bilang biar waktu yang menyembuhkan, karena itu tidak akan pernah terjadi. Waktu akan mengikuti setiap alurnya jika kamu tidak melakukan apa-apa, membiarkannya begitu saja tanpa ada suatu usaha untuk menyembuhkan dan membereskan kepingan-kepingan hati yang berserakan.


Saya paham betul bahwa sembuhkan luka itu memerlukan kelapangan hati yang luas dan keikhlasan hati yang tanpa pamrih, tapi setidaknya izinkan hati dulu untuk sembuh dan berusaha untuk tidak mengukir dan mengingat hal yang akhirnya hanya akan memperdalam luka. Seperti halnya hidup. Kecewa, bahagia. Tangis, tawa. Mudah, sulit. Jauh, dekat. Itu semua proses hidup, proses yang akan di rindukan dimasa tua nanti. So, nikmati prosesnya sekarang. Minimalisir keluhan, tingkatkan senyum dan kuatkan pondasi ketangguhan. Wanita memang terkadang dinilai lemah oleh kaum adam, tapi ketahuilah bahwa wanita mempunyai kekuatan yang tidak dimiliki oleh kaum adam. Kekuatan; menyamarkan luka dengan senyum meski badai ujian terus menghantam tanpa pernah tau ujungnya dimana, pandai menyimpan dan menampung segala kekecewaan tanpa diketahui oleh satu orangpun. Dan satu hal yang seringkali terlupakan, bahwa laki-laki terlahir dari rahim wanita. Mengandung, membesarkan, merawat tanpa rasa mengeluh. Mengelap setiap tetesan keringatnya dengan rasa syukur, membasuh setiap tetesan airmata dengan segala motivasi yang dilahirkan sendiri dari dalam hati; bukan dari orang lain dan dari manapun. Karena kaum wanita pun sadar bahwa dia mempunyai tanggung jawab yang tidak kecil untuk dirinya sendiri, keluarga dan orang lain. Seringkali mengenyampingkan kesenangan hanya untuk kebahagiaan orang lain. Meski tidak semua wanita berperilaku sama, tetapi percayalah bahwa didalam setiap tetesan airmatanya terselip seribu kekuatan. Dibalik setiap perilaku manjanya terselip kemandirian yang belum tersalurkan. Dibalik setiap sikap repotnya terselip impian dan harapan yang tidak biasa.


Seperti halnya pertemuan. Sejauh apapun jarak membentang, sepanjang apapun kilometer yang terpampang. Jangan pernah berkata bahwa waktu belum mengizinkan. Biar, biar hati dan kemauan yang menggerakkan waktu agar sebuah tatap mata terjadi. Izinkan usaha dan perjuangan yang akan menaklukan waktu.


Jangan salahkan waktu. Karena dengan waktu, kita bisa belajar untuk sebuah pengalaman yang berharga. Karena dengan waktu, kamu bisa bertemu dan berpisah dengan orang-orang yang memberikan pelajaran hidup sehingga kamu mampu bertahan hingga saat ini. Karena dengan waktu, semua bisa saja terjadi atas seizin Allah dan atas seizin hati. Berhenti menyalahkan waktu, lakukan apa yang dikatakan hati. Biar waktu mengikuti, buat waktu terus merestui.

Jumat, 06 Juni 2014

Cinta itu; Ayah dan Ibu..

Angka dua puluh itu bukan lagi angka yang kecil, di usia yang sudah semakin matang itu bukan pilihan yang tepat untuk terus bergantung pada orang lain. Meski hati ingin sekali kembali ke masa lampau; masa dimana saya hanya tau lollipop dan mainan yang mengasyikan. Masa dimana saya hanya tau bahwa cinta itu adalah ayah dan ibu. Masa dimana saya bisa mendapatkan semua yang saya mau dengan cara merengek dan menangis. Hal itu sudah tidak lagi saya terapkan dimasa kini, apalagi ketika mau tidak mau saya harus merelakan kepergian ayah di umur belasan; lima tahun silam. Itu merupakan pukulan yang sangat keras bagi saya, hantaman yang saya fikir tidak bisa saya lalui. Batinku, bagaimana mungkin saya bisa hadapi kehidupan ini tanpa adanya seorang ayah? Bagaimana mungkin saya sanggup menjawab jika mereka menanyakan sebab apa yang membuat ayah pergi? Bagaimana bisa saya menjelaskan ditengah keadaan hati yang masih sangat berkalut? 

Tahun demi tahun saya mencoba mengikhlaskan, ternyata ikhlas tak seberat seperti apa yang saya fikirkan. Meski memang saya begitu merindukan sosok seorang ayah, meski ayah tidak lagi menemani saya untuk melangkahkah kaki sampai hari kedepan. Itu tidak mematahkan semangat saya untuk terus membahagiakan beliau. Walaupun depresi sempat membuat hari-hari saya begitu terpuruk, entah kekuatan dari mana yang bisa menyadarkan bahwa saya masih memiliki satu malaikat yang saya punya. Saya sering memanggilnya IBU.

Satu kata beribu kekuatan. Pondasi terkuat untuk saya bisa melanjutkan hidup dan mewujudkan mimpi-mimpi saya. Ibu itu alasan saya untuk tetap bertahan; tidak peduli bagaimana saya harus jatuh bangun, harus berdarah menghadapi ini. Yang saya tau bahwa saya mencintainya. Cinta yang tidak pernah punya alasan, cinta yang akan saya bawa hingga mati, yang akan selalu kekal abadi. Saya tau, sangat tau bahwa kehilangan ayah itu tidak mudah. Harus merelakan kepergiannya yang begitu cepat, melihatnya hanya didalam mimpi, mengenangnya hanya didalam ingatan. But life must go on.
Disaat saya bosan menjalani ini, saya ingat wajah ibu. Disaat saya begitu jenuh dengan rutinitas monoton ini, saya selalu teringat wajah ayah. Ketika saya begitu muak dengan persepsi orang lain, selalu terbesit nasihat mereka untuk saya. Ketika saya ingin menyerah, buru-buru saya pandangi senyum yang terpampang di bingkai foto itu. 

Ayah, ibu. Jika saya diberi satu kesempatan untuk meminta do’a yang langsung terkabul. Saya ingin meminta agar kita dikumpulkan kembali bersama disini, menghadapi hidup dengan tawa bahagia. Merangkul ketika salah satu ada yang nyaris berputus asa, menolong ketika salah satu ada yang terjatuh, mengobati ketika salah satu ada yang terluka. Tapi saya tau yah, bu. Itu semua hanya imajinasi dan khayalan yang tidak akan pernah menjadi nyata. Bahkan terjadi didalam mimpi pun belum tentu. Tapi izinkan saya untuk tetap berusaha menjadikan kalian bahagia, hingga nanti; sampai saya tak lagi bernafas, sampai Allah berkata waktunya pulang.

Setidaknya masih ada satu harapan dan do’a yang bisa menjadi nyata. Do’a yang selalu saya panjatkan di dalam sujud saya; do’a yang selalu saya pinta agar kita bisa berkumpul kembali di surga sana. Dikehidupan yang kekal abadi. 

i love you both :)