“Perkara jujur atau tidaknya kamu itu
urusanmu dengan Tuhan, tugasku disini hanya mempercayaimu. Biarkan nanti Tuhan
yang akan menunjukkan, pantas atau tidaknya kamu untuk aku perjuangkan.”
Ini sepenggal
kalimat pagi yang saya tulis disalah satu sosial media saya, kalimat yang entah
mendapat inspirasi dari mana. Yang saya tau, saya ingin mempublishnya. Perkara ada
yang tertohok dengan kalimat saya; itu urusan mereka, perkara ada yang mengira
kalimat ini yang menjadi kegalauan saya; biar itu tetap menjadi persepsi
mereka. Sebagian besar orang memang begitu bangga pada pilihannya diawal waktu,
ketidaksetujuan orang terdekat seringkali tidak dipedulikan bahkan diabaikan
begitu saja. Berfikir bahwa ketidaksetujuan mereka hanya merupakan salah satu
ujian sebagai pemanis jalan cerita. Sebagian besar orang telah tertutup matanya
bahkan ada yang sengaja menutup, agar mereka terlihat bahagia dengan pilihannya
itu. Tanpa mereka sadari bahwa itu tidak akan berlangsung lama, lambat laun
semua akan terlihat jelas mana yang pantas diperjuangkan dan mana yang patut
dilepaskan.
Memakan berjuta
janji di awal waktu memang begitu nikmat, apalagi sambil membayangkan bahwa
semua janji itu akan menjadi nyata tepat pada waktu yang telah digariskan. Tapi
sayangnya, semua akan kembali lagi pada kenyataan. Sekali dua kali janji itu
menunjukkan keingkarannya, tidak sedikit mereka yang masih terus percaya bahwa
janji lain akan tetap terwujud bahkan ada yang berfikir bahwa janji yang telah
ingkar itu akan tercipta dilain waktu. Sampai akhirnya janji dan impian yang
terancang hancur lebur, menguras bendungan air mata. Tapi sebagian mereka ada
yang dengan penuh rasa optimis segera menyeka air matanya, dan tetap mengejar
impian itu meski hanya berjuang sendirian; berjuang sendirian. Meski tertatih,
terjatuh hingga bangkit; mereka hanya sendiri. Dan lihat, si pembuat janji itu bisa
apa? Hanya duduk manis dan tidak merespon barang sedikitpun. Apakah itu yang
disebut dengan saling mencintai?
Jika jawabannya
YA, bodoh bukan? Yaa begitulah, hal semacam itu yang saya temukan. Memang terlanjur
mencintai dan bodoh itu sangat tipis perbedaannya. Saya tidak bisa menyalahkan
keadaan, saya tidak bisa mendakwa si pembuat janji, saya tidak bisa menunjukkan
mereka yang punya cinta adalah salah. Semua mengalir begitu saja, rasa cinta
yang ada muncul tanpa alasan. Karena sejak kapan cinta itu butuh alasan? Alasan
fisik, itu akan memudar seiring menuanya usia. Alasan materi, itu akan habis
seiring pertumbuhan inflasi yang kian tak terkontrol. Memang harusnya cinta itu
tidak meminta balas, cinta ada untuk saling menyempurnakan kekurangan, cinta
ada untuk saling menemani hingga Tuhan berkata waktunya pulang.
Waktu telah
mengajarkan saya untuk tetap bertahan, waktu telah mengizinkan saya untuk
belajar dari pengalaman hidup mereka. Mereka yang tegar meski dikhianati,
mereka yang tersenyum meski disakiti, mereka yang masih mampu temukan bahagia meski
berulang kali dikecewakan. Hal ini membukakan mata saya, bahwa saya tidak bisa
hidup dengan janji yang tidak pasti. Saya tidak akan pernah merasa bahagia jika
terus bergantung dengan si pembuat janji.
Bagi saya,
janji akan tetap menjadi janji. Janji yang nyata adalah pembuktian. Dia yang
pantas diperjuangkan dan pertahankan adalah dia yang mampu membuktikan janji;
bukan yang hanya sekedar melukis luka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar