Kamis, 19 Juni 2014

Biar itu menjadi pilihanmu


“Perkara jujur atau tidaknya kamu itu urusanmu dengan Tuhan, tugasku disini hanya mempercayaimu. Biarkan nanti Tuhan yang akan menunjukkan, pantas atau tidaknya kamu untuk aku perjuangkan.”

Ini sepenggal kalimat pagi yang saya tulis disalah satu sosial media saya, kalimat yang entah mendapat inspirasi dari mana. Yang saya tau, saya ingin mempublishnya. Perkara ada yang tertohok dengan kalimat saya; itu urusan mereka, perkara ada yang mengira kalimat ini yang menjadi kegalauan saya; biar itu tetap menjadi persepsi mereka. Sebagian besar orang memang begitu bangga pada pilihannya diawal waktu, ketidaksetujuan orang terdekat seringkali tidak dipedulikan bahkan diabaikan begitu saja. Berfikir bahwa ketidaksetujuan mereka hanya merupakan salah satu ujian sebagai pemanis jalan cerita. Sebagian besar orang telah tertutup matanya bahkan ada yang sengaja menutup, agar mereka terlihat bahagia dengan pilihannya itu. Tanpa mereka sadari bahwa itu tidak akan berlangsung lama, lambat laun semua akan terlihat jelas mana yang pantas diperjuangkan dan mana yang patut dilepaskan.

Memakan berjuta janji di awal waktu memang begitu nikmat, apalagi sambil membayangkan bahwa semua janji itu akan menjadi nyata tepat pada waktu yang telah digariskan. Tapi sayangnya, semua akan kembali lagi pada kenyataan. Sekali dua kali janji itu menunjukkan keingkarannya, tidak sedikit mereka yang masih terus percaya bahwa janji lain akan tetap terwujud bahkan ada yang berfikir bahwa janji yang telah ingkar itu akan tercipta dilain waktu. Sampai akhirnya janji dan impian yang terancang hancur lebur, menguras bendungan air mata. Tapi sebagian mereka ada yang dengan penuh rasa optimis segera menyeka air matanya, dan tetap mengejar impian itu meski hanya berjuang sendirian; berjuang sendirian. Meski tertatih, terjatuh hingga bangkit; mereka hanya sendiri. Dan lihat, si pembuat janji itu bisa apa? Hanya duduk manis dan tidak merespon barang sedikitpun. Apakah itu yang disebut dengan saling mencintai?

Jika jawabannya YA, bodoh bukan? Yaa begitulah, hal semacam itu yang saya temukan. Memang terlanjur mencintai dan bodoh itu sangat tipis perbedaannya. Saya tidak bisa menyalahkan keadaan, saya tidak bisa mendakwa si pembuat janji, saya tidak bisa menunjukkan mereka yang punya cinta adalah salah. Semua mengalir begitu saja, rasa cinta yang ada muncul tanpa alasan. Karena sejak kapan cinta itu butuh alasan? Alasan fisik, itu akan memudar seiring menuanya usia. Alasan materi, itu akan habis seiring pertumbuhan inflasi yang kian tak terkontrol. Memang harusnya cinta itu tidak meminta balas, cinta ada untuk saling menyempurnakan kekurangan, cinta ada untuk saling menemani hingga Tuhan berkata waktunya pulang.

Waktu telah mengajarkan saya untuk tetap bertahan, waktu telah mengizinkan saya untuk belajar dari pengalaman hidup mereka. Mereka yang tegar meski dikhianati, mereka yang tersenyum meski disakiti, mereka yang masih mampu temukan bahagia meski berulang kali dikecewakan. Hal ini membukakan mata saya, bahwa saya tidak bisa hidup dengan janji yang tidak pasti. Saya tidak akan pernah merasa bahagia jika terus bergantung dengan si pembuat janji.

Bagi saya, janji akan tetap menjadi janji. Janji yang nyata adalah pembuktian. Dia yang pantas diperjuangkan dan pertahankan adalah dia yang mampu membuktikan janji; bukan yang hanya sekedar melukis luka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar