Angka dua puluh itu bukan lagi angka yang kecil, di usia yang sudah
semakin matang itu bukan pilihan yang tepat untuk terus bergantung pada orang
lain. Meski hati ingin sekali kembali ke masa lampau; masa dimana saya hanya
tau lollipop dan mainan yang mengasyikan. Masa dimana saya hanya tau bahwa
cinta itu adalah ayah dan ibu. Masa dimana saya bisa mendapatkan semua yang
saya mau dengan cara merengek dan menangis. Hal itu sudah tidak lagi saya
terapkan dimasa kini, apalagi ketika mau tidak mau saya harus merelakan
kepergian ayah di umur belasan; lima tahun
silam. Itu merupakan pukulan yang sangat keras bagi saya, hantaman yang saya
fikir tidak bisa saya lalui. Batinku, bagaimana
mungkin saya bisa hadapi kehidupan ini tanpa adanya seorang ayah? Bagaimana mungkin
saya sanggup menjawab jika mereka menanyakan sebab apa yang membuat ayah pergi?
Bagaimana bisa saya menjelaskan ditengah keadaan hati yang masih sangat
berkalut?
Tahun demi tahun saya mencoba
mengikhlaskan, ternyata ikhlas tak seberat seperti apa yang saya fikirkan. Meski
memang saya begitu merindukan sosok seorang ayah, meski ayah tidak lagi
menemani saya untuk melangkahkah kaki sampai hari kedepan. Itu tidak mematahkan
semangat saya untuk terus membahagiakan beliau. Walaupun depresi sempat membuat
hari-hari saya begitu terpuruk, entah kekuatan dari mana yang bisa menyadarkan
bahwa saya masih memiliki satu malaikat yang saya punya. Saya sering
memanggilnya IBU.
Satu kata beribu kekuatan. Pondasi
terkuat untuk saya bisa melanjutkan hidup dan mewujudkan mimpi-mimpi saya. Ibu itu
alasan saya untuk tetap bertahan; tidak peduli bagaimana saya harus jatuh
bangun, harus berdarah menghadapi ini. Yang saya tau bahwa saya mencintainya. Cinta
yang tidak pernah punya alasan, cinta yang akan saya bawa hingga mati, yang
akan selalu kekal abadi. Saya tau, sangat tau bahwa kehilangan ayah itu tidak
mudah. Harus merelakan kepergiannya yang begitu cepat, melihatnya hanya didalam
mimpi, mengenangnya hanya didalam ingatan. But life must go on.
Disaat saya bosan menjalani ini, saya
ingat wajah ibu. Disaat saya begitu jenuh dengan rutinitas monoton ini, saya
selalu teringat wajah ayah. Ketika saya begitu muak dengan persepsi orang lain,
selalu terbesit nasihat mereka untuk saya. Ketika saya ingin menyerah,
buru-buru saya pandangi senyum yang terpampang di bingkai foto itu.
Ayah, ibu. Jika saya diberi satu kesempatan untuk meminta do’a yang
langsung terkabul. Saya ingin meminta agar kita dikumpulkan kembali bersama
disini, menghadapi hidup dengan tawa bahagia. Merangkul ketika salah satu ada
yang nyaris berputus asa, menolong ketika salah satu ada yang terjatuh,
mengobati ketika salah satu ada yang terluka. Tapi saya tau yah, bu. Itu semua
hanya imajinasi dan khayalan yang tidak akan pernah menjadi nyata. Bahkan terjadi
didalam mimpi pun belum tentu. Tapi izinkan saya untuk tetap berusaha menjadikan
kalian bahagia, hingga nanti; sampai saya tak lagi bernafas, sampai Allah
berkata waktunya pulang.
Setidaknya masih ada satu harapan
dan do’a yang bisa menjadi nyata. Do’a yang selalu saya panjatkan di dalam
sujud saya; do’a yang selalu saya pinta agar kita bisa berkumpul kembali di surga
sana. Dikehidupan yang kekal abadi.
i love you both :)
i love you both :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar